Rabu, 13 Agustus 2008

ISLAM AGAMA RAHMATAN LIL 'ALAMIN

A. Pendahuluan
islam adalah agama penyempurna, yaitu penyempurna agama-agama yang terdahulu. Islam adalah agama yang dibawa oleh nabi ummiy. Kebenaran ajarannya berlaku secara universal. Islam tidak mengenal kekerasan dan permusuhan, melainkan islam merupakan agama yang penuh dengan kasih sayang, kedamaian dan ketenteraman. Banyak orang menganggap islam itu disebarkan dengan pedang, sehingga islam identik dengan kekerasan dan perang. Kalau kita cermati lebih jauh, bagaimana islam sebenarnya dan sesungguhnya, sungguh kita akan mengatakan islam bukanlah agama kekerasan dan perang tetapi agama yang penuh dengan kasih sayang dan kedamaian.
Orang yang mengatakan islam adalah agama pedang (keras), adalah orang yang memandang islam dengan paradigma yang salah dan ada ideologi yang membuat dia tidak objektif memandang islam. Kebenaran islam sedikit demi sedikit kini mulai diakui kekebenarannya oleh orang-orang yang dulunya memusuhi islam. Banyak non muslim terutama pendeta yang masuk agama islam karena mereka mengetahui akan kebenaran dan kesucian islam.
Kebenaran islam terbukti dari ajaran-ajarannya yang penuh dengan rahmat. Islam tidak pernah menyuruh untuk berlaku kasar tetapi sebaliknya islam menyuruh kita untuk selalu menebar rahmat bagi sekitar kita, hatta sampai perangpun islam menyuruh untuk tidak berbuat kasar terhadap musuh apalagi saudara seiman dan seakidah. Sebagai contoh, dalam perang islam tidak membolehkan kita untuk membunuh anak-anak, orang tua dan wanita. Hal ini membuktikan kalau islam adalah agama cinta damai.
Lebih jauh lagi islam adalah agama pembawa rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya bagi pemeluknya saja, tapi juga untuk orang lain, bukan hanya bagi manusia tapi juga bagi binatang dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt.
و ما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
Dan kami tidak mengutus engkau (muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi alam semesta.
B. Pengertian Islam
Secara bahasa islam berasal dari kata aslama yang diantara artinya adalah penyerahan diri, ketundukan atau keselamatan (as-salam). Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa islam adalah agama penyerahan diri kepada sang khaliq dan tunduk atas aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh allah dan rasulnya. Disamping itu juga islam adalah agama keselamatan dan cinta damai (as-salam).
Pengertian tersebut ada relevansinya dengan ayat yang berbunyi
و ما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
Dan kami tidak mengutus engkau (muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi alam semesta. Ayat tersebut menjelaskan bahwa salah tujuan diutusnya nabi Muhammad saw adalah untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.
"Menurut al-Imam al-Qadli Abu al-Fadhl ’Iyadl bin Musa bin Iyadl al-Yahshabi al -Maliki, ayat ini termasuk rangkaian ayat-ayat al-Quran yang menerangkan kebesaran dan keagungan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad.saw. Ayat ini oleh sebagian ulama ditafsiri sebagai, 'rahmat bagi seluruh makhluq; rahmat bagi orang-orang mukmin di artikan sebagai petunjuk dan sebagai keamanan bagi orang munafik dan penundaan siksa bagi orang-orang kafir'. Menurut Ibnu ‘Abbas R.A’ ditafsiri dengan “rahmat bagi orang-orang mu’min dan orang-orang kafir’karna mereka di ampuni dari berbagai macam siksa yang ditimpakan terhadap ummat-ummat sebelumnya yang mendustakan nabinya”. Demikian tulis al-Qadli ’Iyadl dalam karya monumentalnya al-Syifa bi-Ta’tifi Huquq al-Mushthafa.".
bukan hanya bagi manusia islam menjadi rahmat tapi juga bagi binatang dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini terlihat dari etika islam ketika menyembelih hewan. Islam menganjurkan untuk menyembelihnya dengan pisau yang tajam[1]. Tujuannya adalah supaya binatang yang disembelih tersebut tidak merasa tersiksa. Bayangkan saja jika binatang yang disembelih dengan pisau yang tumpul, tentu saja hal tersebut akan membuat hewan tersebut kesakitan dan merasa tersiksa. Etika seperti ini tidak kita temukan sebelum islam datang. Konon sebelum islam datang orang yang ingin memakan danging hewan, tidak disembelih terlebih dahulu tetapi langsung diambil begitu saja dagingnya.
Lebih jauh dapat dipahami, ke-ramhmat-an islam harus diaplikasikan dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan menjadikan diri kita sebagai umat yang moderat (ummah wasath) dan menanamkan dalam diri setiap muslim rasa toleransi yang tinggi untuk menciptakan kesejahteraan yang abadi antar agama.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa salah satu terjadinya konflik antar agama adalah tidak adanya toleransi antar pemeluk agama sehingga terjadi klaim-mengklaim dan saling merasa lebih dari yang lainnya. Pernyataan seperti itu sebenarnya tidak salah, hanya saja bila pernyataan itu dibarengi dengan aksi untuk mengalahkan dan merendahkah agama lain akan menimbulkan konflik, sehingga islam yang selama dijuluki dengan agama rahmat dan cintai damai hanya akan menjadi slogan belaka.
C. Menjadil muslim yang rahmatan lil'alamin
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa islam adalah agama pembawa rahmatan bagi seluruh alam. Ajarannya berlaku secara universal dan dapat dirasakan oleh setiap golongan, agama, suku, bangsa dan lain sebagainya. Nilai-nilai rahmat yang terdapat dalam islam tidak mungkin dapat direalisasikan kalau pemeluk agama tersebut tidak dapat melaksanakan dan menerapkan ajaran-ajaran islam itu sendiri dalam kehidupan nyata, artinya dalam kehidupan sosial.
Ke-rahmat-an islam akan lebih dapat dirasakan lagi, kalau pemeluknya mempunyai rasa toleransi yang tinggi antar pemeluk agama. Inilah yang dilakukan oleh rasulullah saw ketika hidup berdampingan bersama yahudi di madinah.
Perlu digarisbawahi bahwa toleransi hanya berlaku pada kemaslahatan umat, artinya pada permasalahan-permasalahan social dan untuk kepentingan bersama. Tetapi bila hal itu telah menyangkut masalah aqidah dan masalah tersebut tidak dikomromikan lagi, maka toleransi tidak berlaku lagi.
Selanjutnya, untuk menjadikan benar-benar menjadi rahmatan lil'alamin, pemeluknya harus masuk kedalamnya secara sempurna, islam bukan hanya sebagai identitas saja (islam KTP) tapi juga harus realisasikan dalam segala kehidupan.
Banyak orang islam yang radikal, fundamental, ekstrem dan lain sebagai disebabkan karena kurang mengerti akan ajaran islam itu secara sempurna. Kalau diamati lebih mendalam, maka kita akan mendapat betapa bagus dan sesuainya ajaran-ajaran islam bagi kehidupan manusia. Tidak sedikit para pendeta yang masuk agama islam karena pemahaman mereka yang objektif terhadap islam, sehingga mereka sadar dan mengerti kalau islam adalah agama yang paling sempurna, agama yang cinta kedamaian serta agama yang paling benar di sisi allah swt. Sebagaiman firman allah dalam al-qur'an yang berbunyi:
إن الدين عند الله الاسلام
Sesungguhnya agama yang paling benar di sisi allah adalah islam.
Ayat di atas menjelaskan bahwa tidak ada agama yang diterima oleh allah swt kecuali islam. Ayat tersebut tidak dapat dijadikan dalil untuk memaksa orang non muslim untuk memeluk agama islam. Karena tidak paksaan untuk memeluk agama islam. La ikroha fiddin.
Untuk menjadi muslim yang rahmatan lil'alamin, seorang muslim harus bisa menghargai perbedaan. perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan yang masih bisa ditoleran, yaitu perbedaan dalam masalah furu'iyyah bukan masalah ushuliyyah. Jika perbedaan furu'iyya dianggap sebagai rahmat bukan laknat, maka perselihan dalam tubuh umat islam itu dapat diminimalisir.
Perbedaan dalam tubuh umat islam itu sendiri selama terjadi karena masalah furu'iyyah. Masalah furu'iyyah selama ini sering menjadi pemicu perselihan antar umat islam, sehingga orang lain menganggap islam itu agama yang penuh dengan perselihan dan pertentangan. Untuk meminimalisir perbedaan itu dituntut setiap muslim bisa menyadari semua perbedaan itu selama masih dalam koridor furu'iyyah. Tetapi jika permasalahan itu dalam hal ushuliyyah maka, setiap muslim harus bersikap bijak dalam menyelesaikannya.
Terlepas dari itu semua, banyak orang menganggap bahwa islam tersebar dengan pedang, kekerasan dan pemaksaan. Anggapan itu tidak bisa disalahkan begitu saja, karena memang kenyataan begitu. tapi perlu diingat, bahwa islam dalam hal berperang mempunyai etika-etika yang mana etika-etika tersebut tidak bisa ditemukan dalam agama lain.
Perang yang dilakukan pada masa lalu bukan semata-mata untuk menyebarkan agama islam tetapi untuk stabilitas keamanan umat islam yang banyak menerima ancaman dan kekerasan dari kaum quraisy. Kita bisa menilik sejarah, di sana dapat ditemukan bahwa orang yang tidak mau memeluk agama islam dan tidak melakukan perlawanan tidak dibunuh melainkan hanya diminta pajak sebagai jaminan atas keamanan mereka. Karena kalau seandainya tujuan perang tersebut adalah untuk penyiaran agama islam semata, maka orang yang tidak mau memeluk agama islam akan dibunuh, tapi kenyataannya tidak.
Islam tidak pernah memaksakan aqidah kepada orang lain. Silakan saja mereka mengakui kebenaran agama mereka asal tidak mengganggu islam dan pemeluknya. Selama mereka tidak mengganggu keutuhan umat islam islam akan terus menebar rahmat tapi kalau diganggu islam tidak akan tinggal diam.
Umat islam boleh saja mengatakan agamanya yang paling benar dan paling diterima oleh allah, tetapi jangan memaksakannya untuk orang nonmuslim. Itulah indahnya ajaran islam, mengakui islam sebagai agama yang paling benar tetapi tidak memaksa orang lain untuk mengakui kebenarannya.
D. Kesimpulan
Ke-rahmat-an islam berlaku secara universal, bakan hanya untuk muslim tapi juga non muslim, bukan hanya manusia tapi juga binatang, bukan hanya laki-laki tapi untuk perempuan. Ringkasnya, islam menjadi rahmat bagi seluruh alam. Ke-rahmat-an islam ini bisa dirasakan dari segala aspek kehidupan, baik itu ekonomi, politik, social, budaya, hokum, dan lain sebagainya. Hanya saja umat islam tidak mau menerapkan semua aturan dan ajaran-ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menjadi muslim yang rahmatan lil'alamin, seorang muslim harus: menjadi umat yang moderat artinya tidak ekstrim, menjunjung tinggi sikap toleransi, memahami islam secara sempurna artinya bukan islam KTP, dan menghargai perbedaan dalam masalah furu'iyyah, serta masih banyak lagi hal-hal yang dapat dilakukan untuk menjadi muslim yang rahmatan lil'alamin.
Demikianlah beberapa hal yang mungkin dapat diterapkan dan dipahami oleh setiap muslim. Sehingga islam yang selama dijuluki sebagai agama yang rahmatan lil'alamin tidak hanya slogan belaka tapi benar-benar menjadi kenyataan.


ISLAM AGAMA TOLERANSI DAN CINTA DAMAI:
Telaah Atas Novel Ayat-Ayat Cinta

Oleh: Sahidi Mustafa

A. Pendahuluan
Dewasa ini, pecinta novel sudah bosan dengan suguhan novel-novel vulgar atau tulisan-tulisan yang berbau porno lainnya. Vulgarisme sekarang tidak lagi diminati. Di tengah kebosanan itu kemudian muncul novel-novel islami. Sebagian orang mengatakan, novel-novel tersebut tidaklah layak disebut sebagai novel, dengan berbagai alasan. Tujuan mereka tidak lain adalah untuk mendiskreditkan Islam. Tapi tuduhan itu ditanggapi sastrawan dan novelis muslim dengan menerbitkan novel-novel islami. Novel-novel tersebut mampu menangkis tuduhan-tuduhan yang selama ini ditujukan kepada Islam. Diantara novel tersebut adalah novel Ayat-Ayat Cinta.
Ayat-Ayat Cinta merupakan novel fenomenal yang telah menggemparkan beribu-ribu pembaca. Novel yang ditulis Habirurrahman El-Shirazy ini, mendapat sambutan luar biasa dari para pecinta novel dan sastra. Bukan hanya dari kalangan remaja saja, tapi dari semua kalangan, seperti tokoh Negara, seniman, tokoh agama, dan masyarakat luas.
Tidak banyak novel mendapat sambutan semeriah novel Ayat-Ayat Cinta. Ayat-Ayat Cinta bukan hanya sekadar novel biasa yang bercerita tentang suatu kisah atau kejadian. Akan tetapi novel ini sarat dengan pesan, sehingga pembaca tidak hanya mendapat atau mengetahui cerita atau kisah yang ditampilkan di da-lamnya, tetapi lebih dari itu, pembaca mendapat bermacam-macam pengetuhuan, mulai masalah bahasa, fikih, budaya, humaniora, akidah, sosial dan lain seba-gainya.
Pernyataan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, sesuai dengan pernyataan yang dilemparkan oleh para pembaca dan pecinta sastra, namun ada juga sebagian pembaca yang justru bertolak belakang dengan komentar-komentar bernada pujian yang ditujukan kepada novel Ayat-Ayat Cinta tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Khotimatul Husna pada harian Jawa Pos tanggal 20 April 2008 lalu, "kalau orang lain merasa hatinya gerimis (sejuk) setelah membaca dan menonton AAC, sebaliknya mata dan hati saya menangis untuk ketidak-beruntungan dan penderitaan yang menimpa tokoh perempuannya".
Berangkat dari latar belakang di atas, pengulas (sebutan untuk pengulas novel ini) tertarik untuk menyelami novel Ayat-Ayat Cinta ini lebih jauh lagi. Kalau sebelumnya pengulas hanya membaca secara sepintas tanpa menghayati lebih jauh pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Sekarang pengulas mencoba untuk menjelajahi Novel Ayat-Ayat cinta ini lebih jauh lagi, dengan memfokuskan pada aspek sastranya dan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.
Sistematika pengulasannya (pembahasannya) dimulai dengan mengulas aspek sastranya, kemudian selanjutnya pengulas membedah pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Ulasan tersebut diulas dengan merujuk kepada beberapa buku yang berkaitan dengan masalah tersebut. Akan tetapi perlu diketahui pengulas lebih fokus pada pembedahan atau pengulasan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.
B. Novel Penuh Makna
Ayat-Ayat Cinta bukan seperti novel pada umumnya, tetapi novel ini sarat dengan pesan, sehingga tidak berlebihan kalau dikatakan novel ini sebagai novel pembangun jiwa – meminjam istilah Ahmad Tohari ketika memberikan komentar terhadap novel ini.
Dengan novel pembangun jiwa ini, penulis (sebutan untuk penulis novel ini) mencoba berdakwah melalui tulisan (da'wah bi al-qolam), lebih spesifik lagi dengan sastra atau lebih sepesifik lagi dengan novel. Dakwah dengan novel, apalagi novelnya sekelas dengan novel Ayat-Ayat Cinta ini, menurut hemat pengulas, sangat efektif dan pesan yang disampaikan lebih tepat sasaran. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat Indonesia lebih senang membaca novel dari pada mendengarkan ceramah agama atau membaca dari buku-buku islami, apalagi buku-buku yang nota benenya berbahasa Arab.
Objek dakwah melalui novel juga lebih tepat sasaran, karena pembaca novel ini tentu saja orang yang bisa membaca dan berpendidikan serta orang-orang yang sibuk, yang pada umumnya mereka tidak begitu sering menghadiri pe-ngajian-pengajian keagamaan. Hal ini mungkin disebabkan karena kurang suka atau tidak punya waktu.
Ada beberapa hal menjadi kelebihan novel ini, di antarannya adalah: bahasa yang digunakan dalam novel sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang sudah disempurnakan (EYD). Dengan novel ini, penulis juga mengajak para pembaca untuk menpergunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang telah disempurkan. Sekarang banyak sekali karya tulis yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan benar.
Di samping itu juga, bahasa novel ini sangat sederhada sehingga mudah dipahami oleh siapa saja. Bahasanya tidak berbelit-belit dan tidak perlu penafsiran sebagaimana halnya karya sastra lainnya.
Tidak kalah menariknya juga, penulis mampu menggambarkan tempat (setting) kisah tersebut dengan baik, jelas, lengkap dan detail, sehingga pembaca dapat menghayati dan menggabarkan tempat tersebut. Bukan hanya itu, deskripsi tempat yang sangat jelas itu membuat para pembaca seolah-olah berperan aktif dalam kisah yang ditampilkan dalam Ayat-Ayat Cinta ini.
Membaca novel ini, seolah-olah pembaca dapat merasakan indahnya Mesir dengan sungai nilnya. Karena dalam novel ini keadaan Mesir begitu jelas digambarkan, mulai dari nama tempat, budaya, cuaca, dan bahasa. Bahasa ammiyah yang cantumkan dalam novel ini, menjadikan kisah yang ditampilkan novel ini seperti benar-benar terjadi. Pernyataan ini sesuai dengan pernyataan Ahmadun Yosi Herfanda, sastrawan dan redaktur Budaya Republika.
Di samping itu juga, tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam novel ini begitu hidup. Hal ini disebabkan karena penulis tidak menggunakan bahasa orang ketiga dalam menceritakan kisah demi kisah. Tetapi penulis menggunakan orang pertama, sehingga seolah-olah penulis tidak berperan dalam tulisan ini. Inilah yang membuat tokoh-tokoh dalam novel begitu hidup dan ceritanya juga seperti benar-benar terjadi.
Ada satu hal yang tidak kalah menariknya juga, dalam novel ini penulis menghindari menggunakan bahasa vulgar hatta dalam cerita bulan madupun dan malam zafaf. Kisah-kisahnya juga sangat baik dan penuh dengan hikmah, motivasi dan pesan-pesan serta masih banyak nilai-nilai positif lainnya yang terkandung dalam setiap paragraf novel ini.
Selanjutnya, Penulis berusaha menampilkan pesan-pesan positif hampir dalam setiap paragraf. Pesan-pesan tersebut dibungkus dengan cerita romantis, kisah cinta dan perjalanan kehidupan yang indah dan penuh pengalaman, dengan tujuan untuk membangun jiwa dengan nilai-nilai Islam. Sungguh sangat sulit menemukan novel yang sekelas dengan novel Ayat-Ayat Cinta ini.
Walaupun banyak terdapat kelebihan dalam novel ini namun itu semua tidak berarti novel ini luput dari kesalahan dan kekurangan. Karena tidak mungkin karya manusia luput dari kekurangan dan kesalahan. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Khotimatul Husna dalam harian Jawa Pos. Menurutnya ada beberapa hal yang kontradiktif dengan apa yang diidealkan penulis dengan alur ceritanya. Sebagai contoh Nurul. Nurul digambarkar dalam novel ini degan sosok yang sangat mandiri, aktivis, cerdas, shalihah, suka menolong dan baik hati. Namun pada akhirnya Nurul digambarkan sebagai orang tidak punya cahaya, putus asa dan memadang hidup ini tanpa arti, karena cintanya sama Fahri tidak kesampaian.
Selanjutnya dalam kisah Noura. Noura digambar sebagai sosok yang teraniaya, membutuhkan pertolongan dan semua orang iba melihat keadaannya. Noura juga digambarkan sebagai mahasiswi al-Azhar. Sudah pasti di sana dia diajari hal-hal yang baik. Namun pada akhirnya Noura memfitnah Fahri dengan begitu kejamnya.
Sekilas, apa yang disampaikan Khatimatul Husna ada benarnya. Memang benar, keadaan seperti itu kurang logis, tapi mungkin penulis ingin menyampaikan, bahwa banyak orang yang terjerumus karena cinta. Cinta sering melupakan seseorang, bahwa cinta kepada makhluk itu tidak kekal. Cinta juga sering membuat orang bertindak tidak logis, seperti halnya yang terjadi pada kisah Nurul. Memang kalau dilihat dari segi alur ceritanya agak kurang logis namun pengulas lebih memandangnya dari pesan yang tersirat dalam kisah tersebut. Begitupun dengan kisah Noura. Kalau diperhatikan secara sepintas memang agak kurang logis. Bagaimana mungkin orang yang sudah ditolong memfitnah orang yang menolongnya. Lagi-lagi pengulas melihat dari pesan yang tersirat dalam kisah tersebut, bukan dari alurnya. Seolah-olah penulis ingin menyampaikan, bahwasanya cinta bisa membuat orang bertindak tanpa memperhatikan akal budinya, berbuat tanpa memikirkan akibatnya, nekat dan lain sebagainya. Intinya, cinta yang berlebihan dapat membuat orang kehilangan kontrol diri. Maka hati-hatilah dengan cinta.
Sebenarnya kalau diperhatikan secara seksama, alur cerita tersebut tidaklah kontradiktif antara apa yang idealkan oleh penulis. Hanya saja "mungkin" ada kesalahan dalam memahami apa yang diidealkan penulis. Menurut pengulas, apa yang diidealkan penulis sama seperti apa yang telah pengulas jelaskan sebelumnya dan tidak ada kontradiktif antara alur dan yang didealkan penulis. Perbedaan penafsiran terhadap novel tersebut "mungkin" merupakan salah bentuk kekurangannya. Tetapi menurut pengulas, hal tersebut tidak akan mengurangi kualitas novel ini.
C. Pesan-pesan yang Terkadung dalam Novel Ayat-Ayat Cinta
1. Toleransi
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa novel ini sarat dengan pesan-pesan. Pesan-pesan tersebut hampir ada dari seluruh aspek kehidupan, mulai dari masalah fikih, akidah, sosial, budaya, politik dan lain-lain. Namun pesan yang paling menonjol adalah anjuran untuk membumikan toleransi. Toleransi merupakan keniscayaan dalam konteks pluralisme. Sudah menjadi sunnatullah, bahwa alam ini diciptakan beranekaragam. Eksistensi Keanekaragaman itu akan menjadi nihil jika masing-masing individu tidak menanamkan rasa toleransi dalam diri masing-masing.
Agama kita menganjurkan umatnya untuk toleransi, saling mengahargai, tolong-menolong dan kasih-mengasihi. Bahkan sikap toleransi sudah pernah diperaktekkan Nabi ketika beliau hidup berdampingan dengan Yahudi dan Nasrani di Madinah (Misrawi, 2007: 224).
Namun ruh toleransi dewasa ini sangat sulit ditemukan dalam realitas sosial. Bahkan masyakat cenderung ekstrim, fundamental, sadis, eksklusif dan masih lagi sikap negatif lainnya. Sikap-sikap tersebut membuat manusia memandang kelompok lain dengan sebelah mata, sinis dan penuh rasa curiga. Lebih parahnya lagi, sebagian kelompok menganggap kelompok lain dengan musuh yang harus dilenyapkan.
Menurut Misrawi (2007: 224), ada dua faktor utama penyebab timbulnya sikap intoleran yaitu: pertama, faktor internal, yaitu pemahaman keagamaan yang dangkal, sempit dan picik. Karena sesungguhnya setiap agama mengajarkan kedamaian, apalagi Islam sebagai agama rahmatan lil'alamin. Ketidaktahuan tersebut menyebabkan sebagian muslim bersikap keras terhadap agama lain.
Kedua, faktor eksternal, yaitu ketidakadilan sosial dan ketidakadilan global. Keadaan ini melahirkan fundamentalisme yang berupaya menyaingi dan beradaptasi dengan situasi global.
Realita intoleran ini tidak sepantasnya ada pada diri seorang muslim yang sejati. Seorang muslim harus mampu membuktikan ajaran Islam yang penuh dengan cinta, kasih sayang, dan kedamaian. Sehingga, dengan demikian sebutan rahmatan lil'alamin bukan hanya sebagai slogan belaka, tetapi benar-benar terealisasikan dalam kehidupan bersosial.
Pesan inilah sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Habiburrahman dalam novel ini. Sebagai bukti, dalam novel ini, dari awal sampai akhir, diceritakan bahwa Fahri hidup berdampingan dengan keluarga Kristen koptik. Kehidupan Fahri dan teman-temannya dengan keluarga Kristen koptik tersebut sangat rukun, damai dan penuh kasih sayang, khususnya Fahri dan Maria. Dalam novel Ayat-Ayat Cinta ini juga dijelaskan mereka sudah seperti keluarga.
Walaupun kehidupan Fahri dan teman-temannya dengan Maria dan keluarganya sangat rukun, namun kedua keluarga tersebut (keluarga Maria dan Fahri) sangat hati-hati dalam masalah akidah. Mereka tidak pernah memaksakan akidah masing-masing. Itulah cerminan toleransi yang sebenarnya. Toleransi bukanlah pembenaran semua agama, tetapi pengakuan akan realitas yang plural.
Dari awal sampai akhir, novel ini menceritakan kehidupan antar agama yang rukun, yaitu kisah kehidupan Fahri dan Maria . Ini membuktikan, bahwa penulis sebenarnya ingin menyampaikan pesan kepada para pembaca untuk menanamkan sikap toleransi dalam kehidupan bersosial. Namun yang perlu digarisbahawi adalah, bahwa toleransi yang ditampilkan dalam novel ini hanya pada masalah sosial saja bukan masalah akidah.
Jadi, sebenarnya penulis ingin menyampaikan kepada para pembaca untuk membatasi toleransi itu hanya pada masalah-masalah sosial saja, bukan masalah akidah, kalau sudah menyangkut masalah akidah kita harus bersikap tegas. Lakum dinukum waliyadin.
Sikap toleransi, lebih jelas lagi, digambarkan dalam kisah pertemuan Fahri dengan Aisha di dalam metro, yaitu pada bagian ketiga (kejadian di dalam metro) (hlm. 37). Dalam kisah tersebut dijelaskan bahwa orang mesir memaki-maki tiga orang Amerika. Ketiga orang Amerika itu tidak mendapatkan tempat duduk, kemudian perempuan bercadar bangun dari tempat duduknya dan mempersilakan salah satu bule Amerika yang sudah tua renta untuk duduk. Tindakannya tersebut mendapat cacian dari orang Mesir. Kemudian Fahri tampil membela perempuan bercadar itu. Dengan menenangkan para penumpang dan meluruskan tindakan mereka terhadap tiga orang Amerika itu.
Dalam kisah tersebut, Fahri menjelaskan bahwa orang kafir yang masuk ke sebuah Negara muslim dengan legal, maka semua hak-haknya harus dilindungi dan, kehormatannya juga harus dijaga, bahkan hak-hak mereka sama dengan hak-hak muslim.
Kejadian di dalam metro itu (hlm. 37 ) menyuruh para pembaca untuk menghormati orang kafir (kafir dzimmi) yang berada dalam Negara muslim, selama mereka membayar jizyah dan tidak membuat kekacauan.
Kejadian di dalam metro itu membuat kita teringat dengan beberapa tindakan intoleran yang dilakukan oleh kaum fundamentalis terhadap non muslim yang berada dalam Negara muslim, seperti Bom Bali dan lain sebagainya. Tindakan seperti itu sungguh sangat disayangkan karena perbuatan tersebut mengatasnamakan agama Islam yang hanif, padahal kalau ditelusuri lebih jauh, Islam tidak pernah menyuruh berbuat seperti itu. Lagi-lagi tindakan tersebut dilakukan atas kekurangtahuan mereka tentang Islam yang hakiki.
2. Menghargai Wanita
Selain anjuran untuk toleransi, pesan lain yang dimuat dalam novel ini adalah anjuran untuk menghargai wanita. Pesan ini sekaligus kritikan atas dunia barat yang senantiasa menganggap Islam merendahkan derajat wanita. Dengan novel ini Habiburrahman menepis semua tuduhan itu, penulis ingin menyampaikan kalau Islam itu sangat mengahargai wanita. Dalam Islam, Tuhan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, antara kaya dan miskin, antara kuat dan lemah, dan lain sebagainya (al-Qur'an surat: al-hujarat: 13). Yang menjadi perbedaan di mata Islam hanyalah ketakwaan (Shihab, 2002: 261)
Berkembangannya opini yang mendiskreditkan Islam tidak lepas dari ketidaktahuan barat tentang Islam yang sesungguhnya dan tindakan muslim yang tidak sesuai dengan Islam. Seperti halnya ketika al-Qur'an menyuruh suami memukul istri (an-Nisa': 34). Perintah memukul bukan untuk semua istri, tapi hanya untuk istri yang nusyuz. Nusyuz adalah istri yang tidak lagi menghormati, mencintai, menjaga dan memuliakan suami (hlm. 97).
Perlu diketahui, perintah memukul istri, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur'an, mempunyai kriteria-kriteria tertentu. Namun, ini sering tidak dipahami, sehingga muncul anggapan bahwa Islam kejam dan sadis. Padahal Islam memberikan tuntunan bagaimana menyikapi istri yang nusyuz.
Langkah pertama yang harus dilakukan suami terhadap istri nusyuz adalah menasihati. Kedua, pisah ranjang (tempat tidur). Dan yang terkahir - setelah melalui dua cara di atas – memukul istri. Walaupun al-Qur'an menyuruh suami memukul istri, tapi tidak boleh sembarangan. Suami baru boleh memukul dengan beberapa syarat: pertama, setelah menggunakan kedua cara di atas (nasihat dan pisah ranjang). Kedua, tidak boleh memukul muka, dan yang terakhir tidak boleh menyakitkan, membekas, tidak sampai membuat tulang retak dan tidak di bagian yang berbahaya (hlm. 97-99). Menurut Shihab (2002: 430-431), memukul istri jangan dipahami untuk menyakiti atau sesuatu yang terpuji.
Semua persyaratan di atas harus diperhatikan dengan seksama, supaya tidak tidak ada anggapan bahwa Islam adalah agama kejam, sadis, dan tidak memperhatikan hak asasi manusia.
Masih ada lagi kesan miring dari dunia barat terhadap Islam, yaitu masalah poligami. Masalah poligami sebagaimana diceritakan dalam novel ini, menurut dunia barat dan kaum pejuang emansipasi wanita, merendahkan dan menghina derajat perempuan. Islam memang membolehkan poligami tetapi tidak mewajibkan. Ayat yang menjelaskan poligami, tidaklah dipahami sebagai perintah yang wajib dilaksanakan, karena kata perintah (f'i'il al-Amr) dalam ayat tersebut bukan untuk mewajibkan, melainkan hanya sebagai pembolehan saja (Shihab, 2002: 341-342). Kalau ayat tersebut dipahami sebagai perintah yang wajib dilakukan, maka semua sahabat dan para ulama akan berploligami.
Poligami dalam Islam memang dibolehkan, selama suami mampu ber-laku adil dan mampu dalam hal materi (harta) dan mampu memenuhi kebutuhan seks istri. Selain itu, jika sebelum akad dilaksanakan, istri meminta syarat untuk tidak dipoligami, maka suami tidak boleh berpoligami kecuali mendapat izin dari istri (al-Jauzy, 2003: 68).
Pembaca bisa melihat bagaimana proses Fahri berpoligami, dia tidak mau berpoligami kecuali setelah mendapat izin dari istrinya (Aisha). Karena sebelum melangsungkan akad, Aisha meminta syarat kepada Fahri untuk menjadikannya istri satu-satunya (tidak menduakannya). Tapi mengapa pada akhirnya Fahri menduakannya?
Pertanyaan tersebut mungkin muncul dari pembaca. Perlu diketahui bahwa Fahri poligami setelah mendapat izin dari Aisha dan demi menyelamatkan nyawa Maria.
Dari kisah tersebut, penulis berpesan kepada para pembaca supaya poligami tidak dilakukan karena hawa nafsu. Realitanya, orang banyak berpoligami karena tuntutan hawa nafsu, kemudian mengabaikan hak-hak istri pertamanya. Praktek poligami seperti ini menumbuhkan kesan tidak baik, sehingga orang barat menganggap praktek poligami merendahkan derajat perempuan. Padahal pada hakikatnya, poligami bukanlah seperti anggapan mereka. Poligami bertujuan mulia, tidak untuk menyakiti perempuan (istri yang lainnya). Tetapi poligami dalam Islam untuk melindungi perempuan.
Kalau kita membuka kembali lembaran sejarah masa lalu, Nabi berpoligami bukan untuk memenuhi hawa nafsunya tetapi untuk berdakwah menyebarkan Islam. Perlu ditegaskan lagi, bahwa poligami dalam Islam bertujuan mulia. Kalau ada orang berpoligami tidak sesuai dengan tuntunan sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, maka jangan Islam yang disalahkan tapi yang salahkanlah pelaku poligaminya.
3. Kritik Sosial dan Politik
Selain dua pesan di atas, masih ada lagi pesan lain yang ingin disampaikan penulis melalui novel ini, yaitu kritikan terhadap pemerintahan Indonesia. Sebagaimana yang dijelaskan dalam novel ini bahwa kekuatan Indonesia di luar negeri sangat lemah. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus penindasan yang dialami Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri. Melalui novel ini, penulis ingin menyampaikan kepada pemerintah Indonesia supaya melindungi Tenaga Kerja Wanita (TKW) atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Di antara penyebab terjadinya penindasan terhadap TKW adalah kurangnya wibawa dan martabat pemerintahan Indonesia di mata internasional. Akibatnya mereka berbuat semena-mena terhadap TKW tanpa ada proses hukum yang setimpal.
Selain mengkritik pemerintahan Indonesia, penulis novel ini juga mengkritik pemerintahan Mesir yang berbuat semena-mena terhadap orang asing khusunya Indonesia. Begitu juga dengan buruknya proses penegakan hukum, terutama penegakan hukum bagi Negara lemah di mata internasional, seperti Indonesia.
Sebenarnya kalau kita telusuri lebih jauh, sungguh sangat banyak pesan positif yang terkandung dalam novel ini. Tetapi pengulas tidak bisa menjelaskannya dalam tulisan ini secara terperinci.
D. Kesimpulan
Dari ulasan di atas, pengulas berkesimpulan bahwa novel ayat-ayat cinta merupakan novel yang sarat dengan pesan positif yang dapat membangun jiwa yang sedang pudar. Novel ini laksana pelita yang menerangi kegelapan malam,bagaikan bulan purnama menghiasi malam. Membaca novel ini seolah-seolah menyelami samudera ilmu, yang mana setelah membacanya, pembaca akan mendapatkan harta yang tiada terkira yaitu ilmu pengetahuan.
di antara kesimpulan yang dapat pengulas berikan adalah sebagai berikut:
1. Novel ini merupakan novel yang tidak hanya berisi kisah-kisah atau cerita-cerita saja, melainkan novel juga berbicara mengenai berbagai macam disiplin ilmu yang sangat berharga.
2. Yang membuat novel ini menarik adalah bahasa yang digunakan di dalamnya sangat sederhana, mudah dipahami oleh semua golangan dan tidak teerhindar dari bahasa vulgar hatta dalam masalah percintaan sekalipun. Susunan bahasanya sangat indah, sehingga menimbulkan kesan tersendiri bagi para pembacanya.
3. Kisah yang diceritakan dalam novel ini islami, tarbawi, dan penuh dengan motivasi. Keindahan kisahnya membuat air mata mengalir. Novel ini mampu menghipnotis seluruh pembaca dengan kisah yang penuh makna.
4. Pesan yang disampaikan dalam novel ini sangat kompleks, namun yang menjadi pesan sentral menurut pengulas adalah anjuran untuk hidup damai dengan non muslim dengan cara menanamkan sikap toleransi dan menghargai wanita. Dua pesan tersebut hampir ditampilkan dalam setiap kisah yang diceritakan dalam novel ini. Di samping itu juga novel ini memuat pesan-pesan positif lainnya, seperti anjuran untuk sabar, tekun, istiqomah dan masih banyak lagi yang lainnya.
Demikianlah beberapa pesan yang dapat dipetik dari novel fenomenal ini. Sebagai pesan terakhir, "cintailah seorang tidak melebihi cintamu kepada pencipta rasa cinta itu sendiri, hati-hati dengan cinta yang tidak bermuara kepada pencipta alam semesta, karena ia akan menjerumuskanmu ke jurang kenistaan".
Semoga dengan membaca novel ini, hati para pembaca gerimis (sejuk) dan berimplikasi bagi perkembangan jiwa. Jadikanlah hikmah-hikmah yang terdapat dalam novel ini sebagai pelajaran (i'tibar) untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-sehari.
Bagi para penggemar novel, bacalah novel-novel yang bernafas Islam, seperti novel ayat-ayat cinta ini atau novel-novel lain yang sealiran dengannya. Jauhilah novel novel-novel porno karena itu akan merusak kerja pikiran kita.
Wa Allah A'lam bi ash-Shawab















[1] 50 hasehat rasulullah saw untuk generasi muda, Muhammad ali quthb, al-bayan, bandung ,2002

Tidak ada komentar: