Rabu, 13 Agustus 2008

Al-Sunnah

PERGESERAN MAKNA SUNNAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEHUJJAHAN SUNNAH DALAM HUKUM ISLAM
Oleh: Sayyidi Musthafa

A. PENDAHULUAN
Kedudukan sunnah dalam Islam adalah sebagai sumber kedua dalam hukum Islam setelah al-Qur'an (Zahw, 1984: 48). Oleh karena itu, perhatian para sahabat dan para ulama sangat besar kepada sunnah. Para sahabat senantiasa memperhatikan sunnah dan tidak berani memanifulasi atau merobah sunnah. Hal tersebut karena Nabi pernah bersabda:
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
Artinya: barang siapa yang berbohong atas namaku, maka sediakanlah tempatnya di neraka (Hamid, 1999: 6).
Mengingat pentingnya sunnah dalam hukum Islam, maka para sahabat terus menemani Rasul, bahkan tidak batas dalam persahabatan mereka, para sahabat terus menerus menemani Rasul, apakah itu di pasar, di mesjid, di perjalanan di rumah dan di seluruh kehidupan Rasul. Semua kehidupan Rasul senantiasa direkam oleh para sahabat. Bukan hanya merekam atau mendokumentasikan segala gerak-gerik beliau, tetapi juga para sahabat mengikuti semua gerak-gerik Rasul. Para sahabat sering sekali bertanya kepada Rasul tentang Islam (al-Siba'i, 2000 : 74)
Para sahabat sangat hati-hati dalam periwayatan sunnah. Umar bin Khattab bahkan pernah melarang para sahabat meriwatkan hadits terlalu banyak, karena beliau takut kalau mereka berbohong dan bercampur dengan al-Qur'an. Bukan hanya itu, Umar bin Khattab bahkan membakar hadits yang ditulis oleh para sahabat (Fawzi, 1995: 50).
Walaupun perhatian sahabat sangat besar terhadap sunnah, tetapi sangat sedikit para sahabat yang mendokumentasikan sunnah dalam bentuk tulisan, hal tersebut karena Nabi pernah melarang para sahabat menulis selain al-Qur'an
لاتكتبوا عني غير القرآن, ومن كتب عني غير القرآن فليمحه...
Artinya: Jangan tulis dariku selain al-Qur'an, barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur'an maka hapuslah… (Fawzi, 1995: 37).
Larangan menulis sunnah (hadits) hanyalah larangan yang bersifat sementara. Nabi takut sejumlah sunnah (hadits) bercampur dengan al-Qur'an, sehingga al-Qur'an tidak murni lagi (Azami, 2006: 109). Dan ada beberapa sahabat yang diperbolehkan Nabi untuk menulis sunnah (hadits).
Yang menjadi permasalahan apakah kedudukan sunnah pada masa awal seperti sekarang ini? Pertanyaan ini mendorong penulis untuk menulis makalah singkat ini. Sunnah yang dimaksud adalah sunnah secara umum, bukan seperti yang dipahamai oleh para jumhur ulama hadits. Menurut hemat penulis, sunnah mengalami pergeseran makna, dari yang sebelumnya hanya untuk menyebutkan kebiasaan atau aturan seseorang atau suatu kaum, kemudian para ulama mutaakhkhir menyamakan antara sunnah dan hadits. Kalau yang dimaksud sunnah dalam arti umum, maka penyamaan makna antara keduanya (sunnah dan hadits), kurang tepat.
Berangkat dari latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji – walaupun hanya secara ringkas – tentang bagaimanakah proses pergeseran makna sunnah? Dan apa pengaruh pergeseran makna sunnah terhadap kehujjahannya dalam hukum Islam?
Kedua rumusan masalah tersebut akan penulis coba untuk menelaahnya – walaupun hanya secara ringkas. Karena tidak mungkin penulis jelaskan dalam makalah singkat ini secara terperinci mengenai pergeseran makna sunnah. Mengingat kemampuan penulis juga sangat minim mengenai hal ini (alasan subjektif) di satu sisi. Di sisi lain, bukan dalam makalah singkat ini tempatnya utnuk menjelaskan pergeseran makna sunnah secara terperinci, tetapi – kalau anda tertarik untuk menelitinya – silakan tulis dalam bentuk penelitian apakah itu dalam skripsi atau yang lainnya.

B. PENGERTIAN SUNNAH DAN HADITS
untuk memudahkan kita memahami sunnah, berikut akan dijelaskan pengertian sunnah menurut para ahli, apakah itu menurut bahasa (terminologi) atau istilah (epistimologi).
Pengertian Sunnah Lughatan dan Istilahan.
a. Admad bin Mahmud abd al-Wahhab al-Syinqithy.
Sunnah adalah cara atau aturan (thariqah) atau jalan hidup (sirah), seperti kata sya'ir:
من معشر سنت أمم آباؤهم وكل قوم سنة وإمامها
Sebagaimana juga dijelaskan dalam hadits nabi:
من سن سنة حسنة ...
Dan begitu juga sebgaiman dijelaskan dalam al-Qur'an
قد خلت من قبلكم سنن فسيرروا في الأرض فانظروا كيف كان عاقبة المكذبين
Dari penjelasan di atas sudah jelas bagi kita bahwa pengertian sunnah adalah cara atau jalan hidup (al-syinqithy, 2002: 46-7).
Menurut al-Zubaidi sebagaimana dinukil oleh al-Syinqithy (2002: 48-49) mengatakan bahwa sunnah adalah cara atau jalan yang lurus dan baik, sehingga orang mengatakan orang ini alh al-Sunnah, artinya dia mempunyai jalan atau cara hidup yang lurus dan baik.
Sunnah secara epistimologi apa yang diperintahkan Nabi SAW, yang dilarangnya, atau yang diajaknya, baik itu melalui perkataan maupun perbuatan, oleh karena itu jika dikatakan dalam dalil hukum Islam al-kitab dan al-sunnah, maksudnya adalah al-Qur'an dan hadits.
b. Menurut Mahmud Abu Rayyah.
Sunnah secara bahasa adalah cara atau jalan hidup yang diikuti dan dilaksanakan. Hal sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dan al-Jurjani. Menurut Ibnu Taimiyah, sunnah adalah kebiasaan (al-'adah). Al-jurjani mengatakan sunnah secara bahasa adalah jalan yang diridhai atau tidak dirihai.
Menurut Syara' sunnah adalah jalan yang dijalani dalam agama (al-thariqah al-maslukah fi al-din) yang tidak wajib dilaksanakan. Sunnah Rasul adalah apa yang dilakukan dan dilalui oleh Nabi secara khusus dan para sahabat (Rayyah, Tt: 11-12).
c. Menurut Ibrahim Fawzi.
Fawzi (1995: 29) mengatakan sunnah secara bahasa adalah cara (al-thariqah) dan panutan (al-qudwah), hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang berbunyi:
من سن في الاسلام سنة حسنة فله أجؤها وأجر من عمل بها ومن سن في الاسلام سنة سيئة فله وزرها وزر من عمل بها (رواه مسلم)
Sunnah secara epistimologi adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan yang bersumber dari Rasul SAW selain al-Qur'an yang bisa dijadikan dalil syar'i (hukum Islam) (Fawzi, 1995: 29).
Ulama membagi sunnah tiga bagian, yaitu:
1) Al-sunnah al-qauliyah, yaitu perkataan Rasul SAW yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik itu dalam ibadah atau mu'amalah.
2) Al-sunnah al-fi'liyah, yaitu segala perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW yang bisa dijadikan sunnah atau qudwah baik itu dalam ibadah atau muamalah
3) Al-sunnah al-taqririyah, yaitu perkataan atau perbuatan para sahabat yang didengar Nabi atau dilihatnya kemudian disetujuinya atau tidak disetujuinya (dilarangnya) (Fawzi, 1995: 19-20).
d. Menurut Musthafa Al-siba'i.
Sunnah secara bahasa adalah jalan yang terpuji (al-thariqah al-mahmudah) atau yang tidak terpuji (al-thariqah al-madzmumah).
Sunnah menurut para muhaddits adalah sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani); atau tingkah laku Nabi Muhammad SAW, baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudah menjadi Nabi. Pengertian ini, menurut mayoritas ulama hadits dan sunnah sama (sinonim) dengan hadits.
Menurut ulama ushul, sunnah adalah sabda (perkataan), perbuatan dan ketetapan Rasul yang bisa dijadikan sebagai dalil dalam hukum Islam. Al-Siba'i lebih memilih pengertian sunnah menurut ulama ushul. Dia juga menolak sejarah kehidupan Nabi secara umum, bagian dari sunnah.
e. Menurut M.M. Azami.
Menurut Azami, sunnah secara bahasa adalah tata cara, tradisi, dan prilaku hidup, baik yang terpuji maupun tidak. Pengertian semacam ini sudah dipakai dalam Islam. Hal ini sebagaimana terdapat dalam al-Qur'an, al-sunnah, atsar, dan sya'ir Arab (Azami, 2006: 26).
Sunnah menurut para ahli hadits, sunnah adalah sabda, perbuatan, ketetapan, sifat (watak budi, atau jasmani); tingkah laku Nabi SAW baik setelah menjadi Nabi mau sebelum menjadi nabi. Para ahli fiqh mengatakan sunnah adalah hal-hal yang berasal dari Nabi SAW yang tidak wajib dilaksanakan (Azami, 2006: 14)
f. Menurut Para Orientalis.
Pengertian sunnah menurut Schacht adalah perbuatan-perbuatan Nabi SAW yang ideal, pengertian ini juga dipakai oleh Imam al-syafi'i. tetapi menurutnya pengertian sunnah yang paling tepat adalah contoh-contoh yang sudah berlalu dan tata cara hidup. Goldziher mengatakan sunnah adalah istilah animis kemudian dipakai oleh orang-orang Islam. Begitupun dengan Margoliouth mengatakan bahwa sunnah sebagai sumber hukum Islam pada mulanya adalah masalah yang ideal atau norma yang dikenal dalam masyarakat, kemudian pada masa belakangan pengertian itu terbatas hanya untuk perbuatan-perbuatan Nabi SAW saja.
Oleh karena itu, Schacht berpendapat pengertian sunnah dalam masyarakat Islam pada masa-masa awal adalah hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan atau hal-hal yang menjadi tradisi. Sebagaimana juga pendapat seperti ini dikutip oleh Ya'qub, bahwa Schacht mengatakan konotasi sunnah dalam masyarakat Islam pada masa-masa awal adalah the customary or generally agreed practiced (hal-hal yang sudah menjadi tradisi atau perbuatan yang telah disepakati secara umum/telah memasyarakat) (Yaqub, 2004: 34).
Ali Hasan al-Qadir dalam bukunya Nadhrat 'Ammah fi Tarikh al-Fiqh al-Islami mengatakan, semula sunnah yang terdapat di kalangan arab adalah jalan yang benar dalam kehidupan perorangan maupun masyarakat (Azami, 2006: 20-1). Menurut al-Qadir, pengertian sunnah yang dibatasi hanya untuk menunjukkan sunnah Nabi saja, karena peran al-Syafi'i, yaitu pada akhir abad kedua hijriah. Dia menyimpulkan penyempitan makna sunnah terjadi pada akhir abad kedua hijriah (Azami, 2006: 21).
Pengertian Hadits Lughatan dan Istilahan.
a. Menurut Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah.
Hadits secara bahasa adalah lawan dari kata qadim (lama) sebagaimana firman Allahdalam al-Qur'an:
فليأتوا بحديث إن كانوا صادقين
Sedangkan menurut istilah, sunnah adalah perkataan, perbuataan, ketetapan sifat (fisik dan moral) Nabi Muhammad SAW seperti bentuk tubuh, warna kulit dan yang lainnya (Syahbah, 1990: 15).
b. Menurut Mahmud al-Thahhan.
hadits secara bahasa adalah baru. Sedangkan menurut istilah hadits adalah perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat yang disandarkan kepada Nabi SAW (al-Thahhan, 1985: 15).
c. Menurut Kitab Ta'liqat ala al-Hadits
Hadits sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Ta'liqat ala al-Hadits adalah perkataan (kalam) yang diriwayatkan oleh para sahabat secara tersambung (muththashil) dari sahabat lain ke sahabat yang lainnya walaupun dalam jumlah yang banyak, seperti: hadits bad' al-wahyu dan al-ifk.
Adapun makna hadits dalam al-Qur'an adalah sebagai berikut:
1) Al-risalah al-diniyah, seperti firman Allah dalam al-Qur'an yang berbunyi:
اللهم نزل أحسن الحديث كتابا (الزمر: 23)
2) Kisah atau cerita secara umum atau kisah kedunian, seperti yang terdapat dalam firman AllahSWT:
وإذا رأيت الذين يخوضون في آياتنا فأعرض عنهم حتى يخوضوا في حديث (الأنعام: 68)
3) kisah tentang sejarah, sebgaiman firman AllahSWT:
وهل أتاك حديث موسى (طه: 9)
3) percakapan dengan tetangga, sebagaimana firman AllahSWT:
وإذا أسر النبي إلى بعض أزواجه حديثا (التحريم: 3).
Sedangkan makna hadits dalam hadits sama seperti makna hadits dalam al-Qur'an (Tp, 1994: 34-5).
Kesimpulan.
Dari beberapa pegertian sunnah dan hadits di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa makna sunnah dan hadits sebagai berikut:
a. Sunnah adalah aturan, tata cara hidup atau jalan hidup seseorang atau suatu kaum. Kemudian sunnah dipersempit maknanya menjadi tata cara hidup Nabi SAW dan para sahabat.
b. Secara bahasa hadits adalah lawan dari qadim (lama), percakapan. Sedangkan menurut istilah hadits adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasul SAW.
C. KEDUDUKAN SUNNAH DALAM ISLAM
Kita sudah maklum bahwa al-Qur'an adalah rujukan utama dalam Islam. Al-Qur'an mengatur semua aspek kehidupan kita, apakah itu dari segi ibadah, mu'amalah dan lain sebgainya. Semua orang Islam mengakui akan hujah al-Qur'an dalam Islam.
Kendatipun demikin, kandungan al-Qur'an sangat umum, sehingga perlu kepada penafsiran dan penjelasan. Karena tanpa penjelasan (al-bayan), kita tidak akan bisa mengamalkan kandungan al-Qur'an. Sebagai contoh, al-Qur'an menyurh kita untuk mengerjakan shalat, tetapi al-Qur'an tidak menjelaskan tentang tata cara shalat. Al-Qur'an juga menyuruh kita untuk mengerjakan puasa tetapi al-Qur'an tidak menjelaskan secara terperinci tata cara puasa, dan begitupun dengan yang lainnya. Ringkasnya, al-Qur'an hanyalah rujukan umat Islam yang bersifat umum dan masih perlu kepada penjelasan, penafsiran, dan eksplorasi makna yang sangat dalam.
Yang paling menjelaskan al-Qur'an adalah Nabi Muhammad SAW. Karena beliaulah yang paling mengerti makna al-Qur'an. Karena al-Qur'an diturunkan kepada beliau untuk disampaikan kepada seluruh alam. Sebagaimana firman Allahdalam al-Qur'an yang berbunyi:
وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم و لعلهم يتفكرون (النحل: 44)
Artinya: dan kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada ummat manausia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan (al-Nahl: 44).
Ayat di atas menjelaskan bahwa diantara tugas Nabi SAW adalah menjelaskan al-Qur'an baik itu dalam bentuk lisan atau atau perbuatan. Tugas ini merupakan perintah dari Allah SWT sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat di atas (Azami, 2006: 27).
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah sunnah mempunyai kedudukan seperti sekarang ini? Ataukah tidak? Dari beberapa literatur yang penulis baca, bahwa sanya sunnah dalam arti khusus, yaitu sunnah Rasul adalah mempunyai kedudukan yang sangat urgen dalam Islam. Tetapi jika yang kita maksud dengan sunnah adalah sunnah secara umum, yaitu dengan makna tradisi, tata cara hidup atau aturan seseorang atau kelompok orang, maka sunnah dengan makna tersebut tidak mempunyai kedudukan yang urgen dalam Islam.
Apakah sunnah dulu seperti yang kita pahami saat sekarang ini? Menurut hemat penulis, sunnah sudah mengalami penyempitan makna dari yang dulunya bermakna aturan, tata cara hidup atau tradisi seseorang atau suatu kaum, kemudian pada akhir abad kedua hijriah sunnah tersebut mengalami penyempitan makna dan hanya dikhususkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Kedudukan sunnah setelah mengalami pergeseran makna, artinya setelah dikhususkan hanya kepada Nabi SAW atau sebagian ulama mengatakan sahabat, mempunyai kedudukan yang sangat urgen dalam Islam. sunnah menjadi sumber hukum kedua dalam Islam setelah al-Qur'an. Adapun kedudukan sunnah dalam Islam adalah sebagai penjelas (al-bayan) al-Qur'an.
Kandungan al-Qur'an sangat umum, sehingga memerlukan penjelasan dan penafsiran. Tanpa ada penjelasan dan penafsiran dari Nabi SAW kita tidak akan bisa mengamalkan al-Qur'an. Oleh karena itu Nabi tampil sebagai penjelasan al-Qur'an penjelasan itu meliputi:
1. Sebagai penjelas atas ayat-ayat yang mujmal (global). Contohnya firman Allah dalam al-Qur'an:
وأقيموا الصلاة
Lafadz ini tidak menjelaskan bagaimana tata cara melaksanakan shalat, waktunya dan yang lainnya. Kemudian Rasul SAW menjelaskan kapan shalat itu harus dilaksankan, bagaimana cara melaksanakan. Penjelasan beliau bisa dengan perkataan (sabda) atau dengan perbutan beliau (al-Syinqithi, 2002: 64). Sebagaimana Nabi SAW bersabda:
صلوا كما رأيتموني أصلي.
2. Untuk membatasi ayat-ayat yang Muthlaq (Taqyid al-Muthlaq). Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
فامسحوا بوجموهكم وأيديكم منه.
Tangan itu meliputi dari jari-jari sampai ke lengan atas. Bagian manakah yang harus disapu apakah sampai pergelangan saja, sampai siku atau sampai lengan atas. Kemudian Nabi menjelaskan bagian mana yang harus disapu atau diusap. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits SAW:
جاء رجل إلى عمر بن الخطاب, فقال: إني أجنبت فلم أصب الماء. فقال عمار بن ياسر لعمر بن الخطاب: أما تذكر أنا كنا في سفر أنا و أنت, فأما أنت فلم تصل, أما أنا فتمعكت فصليت, فذكرت للنبي صلى الله عليه وسلم فقال النبي لا: (كان يكفيك هكذا) فضرب النبي صلى الله عليه وسلم بكفيه الأرض و نفخ فيهما, ثم مسح بهما وجهه وكفيه.
Hadits tersebut menjelaskan bahwa kata tangan yang dimaksud dalam ayat di atas kedua telapak tangan (al-Syinqithi, 2002: 66).
3. Untuk mengkhususkan ayat-ayat yang umum (takhsish al-'amm) sebagaimana firman Allahdalam al-Qur'an:
السارق و السارقة فاقطعوا
Lafadh al-sariq pada ayat di atas, umum. Seorang hakim harus memotong tangan pencuri apakah si pencuri itu mencuri sampai pada batas nisabnya ataupun kurang. Pada tempat penyimpanan ataupun tidak. Kemudian hadits mengkhususkan ayat tersebut. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Nabi SAW:
وعن عائشة (رضي الله عنها) قالت: قال النبي صلى الله عليه وسلم: تقطع اليد في ربع دينار فصاعدا. و في رواية مسلم أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لاتقطع يد السارق إلا في ربع دينار فصاعدا.
Hadits di atas menjelaskan bahwa batas dipotongnya tangan pencuri jika dia mencuri senilai seperempat dinar atau lebih dan di tempat penyimpanan (al-hirz) (al-syinqithi, 2002: 67-8).
Disamping itu juga, sunnah kadangkala membuat hukum yang tidak terdapat dalam al-qu'an. Artinya sunnah bukan sebagai penjelas al-Qur'an melainkan membuat hukum tersendiri (istiqlal al-sunnah bi al-tasyri'). Seperti haram mengawini bibi dari pihak ayah (al-'ammah) dan bibi dari pihak ibu (al-khalah) sekaligus (dipoligami), haram mengawini kerabat sesusuan dan masih ada lagi yang lainnya (Syahbah, 1990: 14).
D. PERAN IMAM AL-SYAFI'I DALAM MEMBELA SUNNAH
Imam syafi'I sangat berperan dalam membela sunnah. Sebagai orang yang mengikuti manhaj ashab al-hadits, dia senantiasa menjadikan al-Qur'an dan sunnah sebagai dalil dalam menetapkan suatu hukum, terutama hal-hal yang berkaitan dengan aqidah. Di samping itu dia juga selalu menjadi al-Qur'an dan sunnah sebagai hujjah dalam menghadapi penentangnya terutama dari kalangan ahli kalam. Lebih jauh beliau berkata: "jika kalian telah mendapatkan sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain". Atas komitmenya dalam mengikuti dan membela sunnah dia mendapat gelar sebagai "nashir al-sunnah wa al-hadits" (syarifuddin: 5).
Imam al-Syafi'i juga mengatakan bahwa bahwa sunnah juga wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW (Zayd, 2003: 88-9). Oleh karena itu, kadangkala sunnah membuat hukum tersendiri (istiqlal al-Sunnah bi al-tasyri') – sebagaimana dijelaskan di atas. Bahkan Imam al-Syafi'i menafsirkan bahwa kata hikmah yang terdapat dalam al-Qur'an adalah sunnah (Zayd, 2003: 85). Hal dapat kita lihat ketika Imam al-Syafi'i menafsirkan al-Qur'an surat ali imran: 164 yang berbunyi:
لقد من الله على المؤمنين إذ بعث فيهم رسولا من أنفسهم يتلوا عليهم آياته و يزكيهم ويعلمهم الكتاب و الحكمة وإن كانوا من قبل لفي ضلال مبين (آل عمران: 164).
Imam mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-kitab adalah al-Qur'an dan al-hikmah adalah sunnah al-Rasul SAW (al-Suyuthi, Tt: 25). Keteguhan Imam al-Syafi'i bukan hanya sampai di situ, bahkah Imam al-Syafi'i menjadi hadits ahad (al-khabar al-wahid) sebagai hujjah dalam Islam (Zahw, 1984: 277).
E. komentar dan kesimpulan
Menurut hemat penulis, pengertian sunnah sudah mengalami pergeseran makna, dari yang sebelumnya hanya untuk menunjukkan hal-hal kebiasaan atau hal-hal yang sudah menjadi tradisi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Schacht. Atau seperti yang dikatakan oleh Ali Hasan Abd al-Qadir bahwa sunnah adalah jalan yang benar dalam kehidupan perorangan maupun kelompok (Azami, 2006: 21). Hal dapat kita lihat dari hadits Nabi SAW yang berbunyi:
عليكم بسنتي وسنة خلفاء الراشدين
Hadits tersebut membuktikan bahwa kata sunnah bukan hanya untuk Nabi tetapi juga kepada selain nabi. Jika mengatakan bahwa sunnah hanya dikhususkan kepada Nabi maka hal tersebut kurang tepat.
Kendatipun demikian, pada akhir abad kedua hijriah, tepatnya pada masa Imam al-Syafi'i, makna sunnah mengalami pergeseran dan penyempitan. Hal ini mungkin disebabkan oleh kemunculan inkar al-sunnah pada abad kedua hijriah (Azami, 2006: 50) sehingga Imam al-Syafi'i tampil membela sunnah dan menjadikannya mempunyai kedudukan yang urgen dalam hukum Islam. bahkan Imam al-Syafi'i mengatakan bahwa sunnah adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW – sebagaimana telah disebutkan di atas. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur'an surat al-najm ayat 3-4 yang berbunyi:
وما بنطق عن الهوى إن هو إلا وحي يوحى (النجم: 3-4)
Setidaknya, pergeseran makna sunnah ini memperkuat kedudukan sunnah Nabi SAW dalam hukum Islam. walaupun sebelum terjadi pergeseran makna sunnah, sunnah Nabi SAW itu sudah menjadi pegangan para sahabat dalam menentukan hukum Islam.
Pada masa sekarang ini sunnah tersebut identik dengan hadits. Jika orang mengatakan al-Qur'an dan sunnah, maka yang dimaksud dengan sunnah adalah hadits Nabi Muhammad SAW.
Agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami makna sunnah dan atau agar sunnah itu khusus untuk Nabi SAW, maka orang-orang muslim menambahi "al" di depan kata sunnah (Azami, 2006: 20). Dalam ilmu nahwu "al" tersebut disebut dengan al ma'rifah. Dengan demikian, jika ada kata sunnah dan di depannya dibubuhi oleh al ma'rifah, maka al-sunnah yang dimaksud adalah sunnah Nabi Muhammad SAW.
Dalam makalah ini kata sunnah sengaja tidak didahului oleh "al", karena kata sunnah yang dipakai dalam makalah ini adalah sunnah dalam ejaan bahasa Indonesia bukan Arab. Dan sunnah dengan dibubuhi "al" di depannya atau sunnah Nabi SAW sudah menjadi sumber hukum Islam sejak dahulu.
Wa Allah a'lam bi al-shawab.

MENCIPTAKAN TRADISI YANG BAIK
A. PENDAHULUAN
Islam dan semua agama, pasti menyuruh pemeluknya untuk berbuat baik. Berbuat baik bukan hanya kepada Allah (vertikal) semata, tetapi juga kepada sesama manusia (horizontal). Dalam Islam kedua hal tersebut dikenal dengan habl min Allah (vertikal) dan haml min al-nas (horizontal). Kedua hubungan tersebut haruslah kita penuhi secara seimbang. Orang tidak dikatakan beriman kalau membiarkan saudaranya (tetangganya kelaparan) (hadits). Orang pergi haji sementara warga tetangga sebelah (WTS) nya kelaparan, maka haji tersebut tidak berarti.
Ilustrasi di atas menggambarkan, bahwa Islam itu bukanlah hanya pengabdian kepada Allah tetapi juga – sebagai seorang muslim – dituntut untuk senantiasa menjaga hubungan dengan sesama dengan baik, rukun, dan cinta damai. Bahkan kita juga dituntut untuk mendamaikan saudara kita yang sedang berselisih (konflik). Sebagaimana dijelaskan dalam al-qur'an "sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, maka damaikan kedua saudara kamu (yang sedang berselisih)… (Q.S. al-Hujarat: 10 )
Kutipan ayat tersebut menjelaskan, bahwa Islam itu sebenarnya agama yang cinta kedamaian, ketenteraman, dan keselamatan. Islam bukanlah agama yang sadis, fatalis, fundamentalis, ekstremis, ekslusif dan lain sebagainya. Tetapi Islam adalah agama moderat (ummatan wasathan). Artinya, Islam jauh dari konotasi "ter". Karena semua yang berimbuhan "ter" biasanya mengandung makna yang kurang baik.
Lebih jauh lagi, jika kita cermati ajaran Islam itu dengan penuh ketelitian dan menanggalkan unsur subjektifitas, maka kita akan menemukan Islam penuh dengan nilai-nilai kebaikan. Penuh dengan keindahan, kedamaian dan ketentraman.
Di samping itu, Islam juga selalu menyuruh kita untuk senantiasa membudayakan tradisi yang baik dan melarang kita untuk membuat tradisi yang jelek.
B. MENCIPTAKAN TRADISI YANG BAIK
Rasululullah SAW bersabda:
من سن سنة حسنة فله أجرها و أجر من عمل بها إلى يوم القيامة ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها و وزر من عمل بها إلى يوم القيامة (رواه مسلم)
Artinya: barang siapa yang membuat sunnah yang baik maka untuknya pahalanya dan pahala yang mengerjakan sunnah itu sampai hari kiamat. Dan barang siapa yang membuat sunnah yang jelek maka baginya dosanya dan dosa yang mengerjakan sunnah itu sampai hari kiamat (H.R. Muslim) (al-Siba'i, 2000: 65)
Hadits di atas menjelaskan, supaya kita senantiasa membudayakan tradisi yang baik. Tradisi yang kemudian orang bisa mengikuti tradisi yang kita lakukan itu. Bukan tradisi yang buruk yang kemudian dengan tradisi buruk itu kita menjerumuskan orang lain ke jurang kenistaan yang penuh dengan dosa.
yang menjadi figur, biasanya, segala gerak-geriknya cenderung dicontoh oleh orang lain. Sebagai contoh, artis yang menjadi idola seseorang, biasanya orang tersebut berusaha untuk mengikuti segala gerak-geriknya, cara berpakaiannya dan gaya hidupnya. Simpelnya, orang akan selalu mengikuti orang yang menjadi idolanya.
Untuk itulah Islam menyuruh kita untuk membudayakan tradisi yang baik, terutama bagi orang-orang yang terkenal, seperti tokoh, selebritis, pemimpin dan lain-lain. Karena orang-orang tersebut cenderung diikuti dan dicontoh oleh orang lain.
Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa tujuan diutusnya nabi Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sebagai dijelaskan dalam sebuah hadits:
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
Artinya: sesungguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan kemulian akhlak.
Hadits di atas menjelaskan bahwa nabi diantara tujuannya diutus ke muka bumi ini adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Kalau kita lihat realita sekarang ini, masyarakat kita sedang dilanda krisis moral, dekadensi moral. Akibatnya banyak perbuatan yang tidak laik untuk diperbuat malah dibabat dan diembat. Realita tersebut sungguh sangat ironi. Bagaimana tidak dikatakan ironi, nabi kita Muhammad SAW diutus untuk memperbaiki akhlak manusia, tetapi umatnya sekarang ini malah mengikuti gaya barat yang tidak sesuai dengan ajaran dan nilai Islam.
Kondisi moral masyarakat kita dewasa ini sangat memprihatinkan. Moral yang seharusnya bersumber dari al-qur'an kini tidak tercermin sama sekali. Adalah rasulullah contoh tauladan bagi seluruh manusia. Dialah satu-satunya manusia yang layak menjadi figure setiap orang. Akhlak rasulullah adalah cerminan nur ilahi, semua gerak-geriknya bersumber dari al-qur'an. Aisyah ketika ditanya tentang akhlak rasul dia menjawab, adalah akhlak rasulullah al-qur'an. Namun ironinya, moral pengikut nabi Muhammad tidak mencerminkan moral Islami. Moral yang bersumber dari al-qur'an, tetapi manusia justru lebih mengikuti moral barat yang jauh dari nilai-nilai al-qur'an.
Di antara tradisi yang baik itu adalah menyantuni fakir miskin, anak yatim, orang yang tidak mampu dan yang lainnya. Bahkan Allah menyetarakan orang yang menelantarkan anak yatim dan orang yang tidak mengasihi fakir miskin dengan pendusta agama. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam al-qur’an surat al-ma’un ayat 1 sampai dengan ayat 3:
أرءيت الذي يكذب بالدين فذالك الذي يدع اليتيم و لا يحض على طعام المسكين فويل
Artinya: “Apakah engkau telah melihat orang yang mendustakan hari kemudian? Maka itu yang mendorong keras anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi pangan orang miskin”.
Menurut para mufassir, diantaranya quraish-shihab dan beberapa ulama lainnya, ayat ini berisi kecaman atas orang-orang yang menelantarkan anak yatim dan enggan menganjurkan orang lain apalagi memberi makan fakir miskin. Allah SWT menyamakan orang tersebut dengan pendusta agama (Shihab, 2003: 545). Faktor yang membuat mereka enggan melakukan kedua hal tersebut adalah, karena mereka tidak percaya akan hal yang ghaib.
Hal yang ghaib bukan hanya masalah surga dan neraka, hari kiamat dan lain sebagainya, tapi juga menyangkut masalah balasan atas perbuatan kita dan pelimpatgandaan balasan atas orang yang melakukan kebaikan.
Ketidak percayaan akan hal ghaib membuat orang enggan untuk berinfak. Karena mereka menganggap apa yang mereka infakkan akan sia-sia dan tidak akan mendapat balasan apa-apa. Bukan hanya itu saja, orang yang tidak percaya akah hal ghabi juga akan mengabaikan semua kewajiban agama. Itulah sebabnya mengapa nabi pertama kali menanamkan keimanan ketika beliau berdakwah di mekah. Karena keimanan adalah kunci segala-galanya. Keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan. Itulah sebabnya mengapa al-qur’an selalu mengandengkan kata iman dengan amal shalih. Karena memang keimanan itu harus dibuktikan dengan amal shalih. Ibarat kabel listrik, kita tidak akan tahu kabel itu berarus (dialiri arus listrik) jika tidak dibuktikan dengan cahaya lampu misalnya, televisi dan lain sebagainya. begitupun dengan iman. Iman tanpa amal shalih nihil.
Agar muslim membudayakan tradisi baik, kadangkala Islam menjelaskan ancaman bagi orang yang enggan membudayakan tradisi baik, kadang kala juga isla, memberikan kabar gembira bagi mereka yang gemar membudayakan tradisi baik.
Sebagai contoh, dalam surat al-mau'n ayat: 1 sampai dengan ayat 3, merupakan ancaman bagi orang yang enggan membudayakan tradisi baik, yaitu menyantuni anak yatim dan fakir miskim. Kemudian dalam hadits juga banyak dijelaskan bahwa orang yang membudayakan tradisi baik – menyantuni fakir miskin, anak yatim, dan lain sebagainya – akan mendapatkan nikmat yang luar biasa. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits:
حدثنا عبد الله بن الوهاب قال حدثني عبد عزيز بن حازم قال حدثني أبي سمعت سهل بن سعد عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: أنا وكافل اليتيم في الجنة هكذا, و قال بإصبعيه السبابة والوسطى (رواه البخارى)
Hadits tersebut di atas menjelaskan keutamaan orang yang menyantuni anak yatim. Kedudukan orang yang menyantuni anak yatim dan rasulullah di surga, seperti jari telunjuk dan jari tengah. Perumpaan jari telunjuk dan jari tengah tersebut mengisyaratkan bahwa derajat orang yang menyantuni anak yatim sangat dengan dengan rasulullah SAW. Isyarat tersebut bisa juga bermakna, orang yang menyantuni anak yatim segera masuk surga (Al-'Asqalani, 2000: 47-8).
C. KESIMPULAN
dari uraian di atas, dapat kita simpulkan, bahwa Islam bukan hanya ibadah kepada sang pencipta. Tetapi juga kita harus bisa menjalin hubungan yang baik dalam kehidupan sosial. Islam sering sekali mengaitkan kehidupan sosial sering dengan keimanan. Itu artinya, keimanan tidak akan sempurna kalau kehidupan sosial kita jelek.
Dalam kehidupan bersosial kita dituntut untuk senantiasa menciptakan tradisi baik. Dalam hubungannya dengan pembudayaan tradisi baik, Islam sering sekali menjelaskan ancaman bagi orang yang enggan membudayakan tradisi baik. Tapi juga sebailknya, Islam juga banyak menjelaskan keutamaan orang yang membudayakan tradisi baik.
Seperti itulah cara Islam untuk menciptakan tradisi baik, yaitu dengan memberikan ancaman dan kenikmatan. Pembudayan tradisi baik akan nihil kalau iman seseorang rusak. Karena balasan dan azab yang dijelaskan Islam adalah pada hari akhir. Sehingga jika seseorang tidak beriman kepada yang ghaib akan berbuat sesuka hatinya di dunia ini. Intinya, keimanan inti dari segala-galanya.
Wa Allah a'lam bi al-Shawab


M.M. AZAMI, SANG PEMBELA AL-SUNNAH:
Review Atas Buku Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya
A. Pendahuluan
Azami salah satu ulama yang sangat gigih membela kemurnian al-sunnah dari serangan orientalis yang senantiasa ingin menanamkan rasa keraguan pada diri muslim. Ini terbukti dari karyanya yang berjudul "Studies in Early Hadits Literature" dalam cetakan arab "Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih". Kemudian buku ini diterjamahkan oleh ali Mustafa Yaqub dengan judul "Hadis Nabawi dan Sejarah Kodisifikasinya".
Buku ini adalah bantahan atas buku J. Schacht yang berjudul The Origin of Muhammadan Jurisprudence", di mana dalam buku ini Schacht berkesimpulan bahwa tidak ada satupun hadits yang autentik, terutama hadits hadits yang berkaitan dengan fiqih. (hlm. 3). Sebenarnya buku Schacht ini hampir sama dengan buku Goldziher yang berjudul "Muhammedanische Studien". Prof, Gibb mengatakan dalam bukunya Mohammedenisme, "secara pasti patokan-patokan hukum mengalami perubahan dari generasi kegenerasi. Secara mendasar perubahan ini terdapat dalam materi bahasan atau semangat ilmiyah, sebagai akibat dari adanya perkembangan bidang-bidang penelitian yang melahirkan penemuan-penemuan baru dan perluasan wawasan pemahaman…. (hlm. 4)
Selanjutnya, penulis, selanjutnya sebutan untuk penulis, mengatakan, "sudah dua puluh tahun pendapat Gibb di atas ditulis namun prof. Schacht tetap berpikir seperti cara berpikirnya Goldziher dan Margoliouth. Semua penulis barat juga memuji buku Schacht, bahkan memberikan perhatian yangberlebihan. Namun penelaian ini tidak berangkat dari penilaian yang jeli terhadap metode Schacht. Mereka juga tidak membandingkan antara kesimpulan-kesimpulan Schacht dengan teks-teks yang ditelitinya, sehingga dapat diketahui sejauh mana kebenaran kesimpulan-kesimpulan Schacht itu" (hlm. 5).
Kemudian, karena kesimpulan penulis sangat bertentangan dengan hasil kesimpulan-kesimpulan Schacht, untuk itu kemudian penulis merasa perlu untuk meneliti kembali rujukan-rujukan Schacht dan caranya mengambil kesimpulan. Penulis tidak bermaksud mengritik buku Schacht secara tersendiri, karena hal itu memerlukan waktu lama, namun, menurut penulis, studi Schacht sebagaimana yang terdapat dalam bukunya itu sudah menunjukkan kelemahan-kelemahan yang parah, bahkan lebih parah lagi metode penelitiannya tidak ilmiah (hlm. 5)
Karena Schacht menjadikan buku Goldziher sebagai rujukan utama, maka dalam dalam buku ini juga terdapat beberapa sanggahan terhadap pendapat Goldziher, walaupun tidak secara keseluruhan. Oleh karena itu pemakalah, selanjut disebut untuk pereview buku ini, memaparkan sedikit tentang sanggahan Azami terhadap Goldziher, kemudian pemakalah juga memberikan pemaparan tentang sanggahan-sanggahan Azami terhadap Schacht. Dalam ini mungkin hanya dua orientalis itulah yang menjadi pembahasan, mengingat kedua orientalis itu sangat berpengaruh dalam studi hadits di mata orientalis. Di samping itu juga kedua orientalis itu mampu meyakinkan dunia barat bahwa tidak satupun hadits nabawi yang otentik (shahih).
B. Sanggahan Terhadap Kesimpulan-kesimpulan Goldziher
Kesimpulan Schacht
Secara ringkas, pandangan Goldziher tentang periode umyah (pada abad pertama hijri) tercermin dalam dua point berikut:
a. Umat Islam diselimuti kebodohan yang mutlak tentang ajaran Islam, baik sebagai akidah maupun syari'ah.
b. Ketidak mampuan Islam untuk membuat aturan-atuaran dan teori-teori yang lengkap secara teratur dan rapi.
Hal tersebut dengan alasan-alasan sebagai berikut:
a. Orang Islam berperang dengan baju Islam. Mereka juga membangun mesjid-mesjid. Tetapi di Syam mereka tidak mengatahui salat lima waktu yang wajib itu.
b. Orang Islam tidak mengetahui cara-cara mengerjakan salat. Goldziher berdalih dengan hadits yang diriwayatkan imam bukhari di mana Abu Qilabah berkata, "kami didatangi Malik bin al-Huwairits di mesjid kita ini. Malik kemudian salat. Setelah selesai ia berkata, "sebenarnya saya tidak bermaksud salat. Saya hanya ingin memberitahukan bagaimana cara rasulullah SAW salat.
c. Oleh Karena itu menurut Goldziher, tidak aneh apabila di kalangan bani abd al-asyhal hanya terdapat budak yang dapat menjadi imam. Menurut Goldziher itu terdapat dalam al-tahdzib di mana Sufyan al-Asadi menjadi iman salat, padahal diantara mereka terdapat para sahabat.
d. Masyarakat Islam ternyata benar-benar bodoh sekali. Sampai ketika ibnu abbas meminta penduduk kota bashrah untuk membayar zakat fitrah, mereka tidak paham. Akhirnya salah seorang dari penduduk madinah menjelaskan hal itu kepada mereka.
e. Bangsa arab pada masa itu belum matang dalam pemikiran Islam, dalam belajar mereka ada keharusan tidak memulai dengan assalamu ala Allah.
f. Menurut Goldziher, ada seorang yang membaca sya'ir di mimbar, tetapi ia menyangka dirinya membaca al-Qur’an.
g. Menurut Goldziher ada bimbingan resmi dan kegiatan penguasa untuk memalsukan hadits sudah ada sejak masa dini dalam sejarah Islam. Dampaknya terdapat dalam pesan Mu'awiyah untuk mengucilkan Ali dan pengikutnya serta jangan mengambil hadits-hadits mereka. Di sisi lain, utsman dan para pengikutnya sanjung dan diambil haditsnya.
Sanggahan Azami
a. Orang yang mempelajari hukum Islam akan mengetahui sejauhmana perbedaan ulam tentang salat witir, apakah ia wajib atau sunnah, dikerjakan satu salam atau dua kali salam dan sebagainya. Perbedaan dari dulu sampai saat ini.
b. Di samping itu banyak orang syam yang berhaji ke makkah. Dapat dipastikan bahwa mereka melakukan salat jamaah di makkah bersama orang lain yang salat wajibnya lima bukan enam. Oleh karena itu tuduhan mereka tidak mengaetahui jumlah salat fajdhu sama sekali tidak beralasan.
c. Mengenai tata cara salat, seperti dituturkan oleh imam bukhari dan ibnu sa'ad, bahwa malik bin huwairits pernah diberi tugas untuk mengajarkan salat kepada orang lain. Sehingga wajar saja kalau ia datang ke sebuah mesjid dan mengarjakan salat. Kesimpulan Goldziher sebenarnya juga sangat aneh, sebab apabila memang ada orang lain yang mengajarkan sesuatu kepada suatu masyarakat, apakah hal itu bisa dikatakan kalau semua penduduknya bodoh. Begitu juga apabila tidak ada bukti kegiatan pendidikan, apakah berarti semua penduduk itu non muslim?
d. Mengenai budak yang menjadi imam, mereka adalah keluarga Sa'ad bin Mu'adz. Abu Rafi mengatakan bahwa mereka sering dikunjungi Nabi SAW sehabis salat asar dan berbincang-bincang. Oleh karena itu dapat dipastikan diantara mereka ada yang mengetahui cara salat dari Nabi. Disamping itu juga lokasi suku tersebut tidak jauh dari madinah, tetapi justru didalah kota madianah itu sendiri. Ini juga membuktikan kemuliaan pendidikan dalam Islam, di mana seorang budakpun boleh menjadi imam apabila ia alim walaupun makmumnya para Bangsawan.
e. Riwatnya dhaif.
f. Tuduhan Goldziher bahwa bangsa arab bodoh tidak ada artinya sama sekali, sebab Nabi justru datang di masyarakat jahiliyah yang animis, di mana tugasnya adalah mengajari mereka. Kesimpulan bahwa orang bodoh sama sekali tidak benar. Justru kejadian tersebut menunjukkan bahwa pada saat itu sangat memperhatikan pendidikan dan belajar. Dan itu juga tidak berarti bahwa dengan tersebarnya lembaga pendidikan salam suatu masyarakat, bukan berarti mereka bodoh, justru hal itu menunjukkan tersebarnya pendidikan.
g. Riwayat yang dijadikan bukti untuk menuduh bahwa orang Islam tidak bisa membedakan antara al-Qur’an dan sya'ir masih simpang siur.
h. Mengenai konflik antara Ali dan m$u'awiyah, wajar saja seorang pemimpin mengangkat pegawai yang setia kepadanya bukan yang membangkang. Di samping itu juga tidak ada tanda-tanda pemalsuan hadits, baik secara resmi ataupun tidak. Yang ada hanyalah ucapan Mu'awiyah kepada al-Mughirah, "jangan segan-segan mencaci dan mengecam Ali, …. Keaiban berada pada pengikut Ali, karenanya kucilkanlah mereka dan jangan didengar ucapannya". Tidak ada kritikan atas mu'awiya kecuali hanya karena ucapannya ini, kalau benar ia mengucapkan demikian. Dan sejauh ini tidak ada tanda-tanda pemasuan hadits.
C. Schacht dan Isnad
1. Kesimpulan Schacht
Menurut Schacht, dia telah mempelajari hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah fiqih (al-muwwatta’) serta perkembangannya. Ia berpendapat bahwa isnad adalah bagian tindakan sewenang-wenang dalam hadits nabawi. Hadits-hadits itu sendiri dikembangkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda-beda yang ingin mengaitkan teori-teorinya kepada tokoh-tokoh terdahulu (534).
Menurut Schacht bahwa pendapat yang bersumber dari seorang tabi’in Ibnu Sirin mengatakan bahwa usaha untuk mempertanyakan dan meneliti sanad sudah dimulai sejak terjadinya fitnah, dimana semua orang sudah tidak dipercayai lagi.
Meneurut Schacht fitnah yang dimaksud adalah ketika terbunuhnya al-walid bin yazid (w 126 H) menjelang surutnya daulah umayyah itu adalah waktu yang dijadikan patokan oleh sebagai akhir kejayaan Islam masa lampau(hlm.535).
2. Sanggahan Terhadap Kesimpulan Schacht
dari kesimpulan dan kajian Schacht tentang hadits dan sanad, serta pamakaiannya dalam kitab-kitab klasik dapat dibuktikan bahwa kitab-kitab fiqih dan kitab-kitab biografi tidak tepat dijadikan sebagai objek penelitian sanad hadits, baik ditinjau dari adanya sanad itu sendiri, pertumbuhannya maupun perkembangannya.
Karena hadits Nabi berdiri sendiri, bahkan ia mencakup ilmu-ilmu lain (disiplin ilmu tersendiri. Pem.). oleh karena itu, ditinjau dari segi ilmiah adalah suatu kesalahan yang mendasar apabila kita meneliti hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih. Karenanya, semua peneletian hadits yang berkaitan dengan sanad diluar sumber aslinya, hasilnya tidak tepat dan akan meleset (hlm. 547).
Adapun mengenai pendapat Schacht yang mengatakan bahwa masa fitnah yang dimaksud oleh Ibnu Sirin adalah ketika terbunuhnya al-walid bin Yazid, atau pada tahun 126 H, tidaklah tepat. Karena kalau yang dimaksud dengan masa pada awal abad kedua hijri, tidak logis, karena Ibnu Sirin sendiri wafat pada tahun 110 H, maka pandapat yang bersumber darinya tadi tidak benar dan palsu.
Dengan demikian, jelaslah bahwa semua analisa Schacht itu hanyalah berdasarkan penafsiran yang subjektif serta ceroboh tentang kata fitnah. Pada hakikatnya yang dimaksud dengan masa fitnah adalah fitnah antara mu’awiyah dan ali yang dampaknya masih terasa sampai sekarang ini (hlm. 535).
Selain itu, Schacht mengajukan sebuah teori tentang sejarah pemalsuan sanad hadits atau dengan kata lain untuk mengetahui sejarah pemalsuan sanad hadits. Untuk mempermudah teori Schacht dapat dilihat dari contoh berikut ini:







Nabi SAW


Jabir


Seorang suku dari bani Salamah







Nabi SAW


Jabir


al-Muttalib



‘Amr bin Abu ‘Amr
(sahaya yang dimerdekan oleh al-Muttalib)
Nabi SAW


Jabir


al-Muttalib
Abd al-Aziz bin Muhammad


al-Syafi’i

Ibrahim bin Muhammad



al-Syafi’i

Sulaiman bin Bilal



Seoran tak dikenal


al-Syafi’i
Menurut Schacht ‘Amr bin Abu ‘Amr orang yang paling berhak memalsukan sanad hadits ini atau hadits itu sendiri.
Seharusnya diagram di atas berbentuk sebagai berikut:
Nabi SAW


Jabir


Seorang dari suku bani Salamah




‘Abd al-Aziz




‘Amr bin Abu ‘Amr


Ibrahim

al-Muttalib





Sulaiman
Setelah diselidiki, ternyata yang dimaksud dengan seorang dari suku salamah adalah guru ‘Amr bin Abu ‘Amr sebagai ganti al-Muttalib. Karena Ibrahim lebih kuat hapalannya dari al-‘Aziz, dan hal itu juga didukung oleh periwayatan Sulaiman, maka yang benar adal al-Muttalib bukan seorang dari suku bani salalamah.
Dengan demikian jelaslah, bahwa hanya ada satu sanad saja, dimana ‘Amr bin Abu ‘Amr meriyatkan hadits tersebut dari al-Muttlib, yaitu dengan diagram sebagai berikut:
Nabi SAW

Jabir

al-Muttalib

‘Amr bin Abu ‘Amr

Abd al-aziz
Ibrahim
sulaiman
Demikianlah beberapa sanggahan M.M. Azami terhadap tuduhan-tuduhan atau kesimpulan-kesimpulan orientalis yang tidak ilmiah itu. Ini hanyalah sebagaian saja dari sekian banyak argumen yang dikemukan oleh Azami untuk menyanggah pendapat para orientalis.
Wa Allah A’lam bi al-Shawab.
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS PADA ABAD KE-10 H:
(Peran India dalam Menjaga dan Melestarikan Hadits)
Oleh: Sayyidi Musthafa
Sejarah Singkat
Tidak dapat dipungkiri, bahwa negara Islam khususnya Mesir dan India mempunya andil besar dalam menjaga dan melestarikan sunnah, tepatnya setelah Baghdad ibu kota abbasiyah jatuh ketangan Tatar. Setelah itulah bemacam-macam ilmu berovolusi dari Baghdad ke negara lain, yaitu Mesir dan India.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa setelah Baghdad jatuh ke tangan Tatar, Mesir mempunyai andil besar dalam melestarikan sunnah. Raja-raja Mesir sangat antusias dan apresiasif dengan ilmu pengetahuan. Sehingga di sana banyak didirikan lembaga-lembaga (universitas) modern. Pada saat itulah orang Mesir banyak yang menjadi hafidh. Mereka fokus pada masalah sanad dan kesahihan hadits. Pada saat itu banyak muncul kitab-kitab yang berkaitan dengan hadits. Keadaan ini berlangsung mulai awal abad ketiga sampai awal abad kesepuluh Hijriyah.
Pada awal abad kesepuluh hijriyah, tepatnya setelah Mamalik al-Barjiyyah berakhir, apresiasi terhadap ilmu pengetahuan mulai menurun juga, kemudian sedikit demi sedikit ilmu pengetahuan berevolusi ke India yang sangat cinta terhadap hadits dan ulumuhu sehingga hadits dan ulumuhu bisa kita nikmati sampai sekarang ini.
Peran India dalam Melestarikan Sunnah
India mempunyai andil besar dalam melestarikan sunnah dan ulumuhu – yaitu setelah orang-orang India sebelum pengertengahan abad kesepuluh hijriyah, berpaling ke ilmu-ilmu nahdariyyah dan hukum-hukum fiqih semata – maka mulai saat itu, orang India punya komitmen tinggi untuk mempelajari hadits dan ulumuhu, terutama pada masalah periwatan dan kritik sanad.
Pada saat itu, yaitu pada pertengahan abad kesepuluh hijriyah, ulama India banyak sekali menghasilkan karya-karya yang sangat berarti. seperti syarah-syarah hadits, dan ta'liqat. Di samping itu juga, ulama India banyak sekali menghasilkan kitab tentang hadits dan ulumuhu, seperti kitab kritik sanad atau Rijal al-Hadits, bayan 'Ilal al-Hadits dan Syarh al-Atsar serta masih banyak lagi karangan mereka terutama disiplin ilmu yang berkaitan dengan hadits.
Yang paling menakjubkan adalah, bahwa mereka (ulama India), tidak terpengaruh dengan peradaban barat. Bahkan mereka bertambah konsisten dan fanatik dengan sunnah. Banyak sekali ulama India mengarang kitab yang menolak pendeta dan orientalis. Di samping itu juga, India punya tradisi ilmiah yang bagus, sehingga sering sekali mereka membuat forum-forum ilmiah untuk berdebat dengan orientalis. Karena kesungguhan dan kecerdasan mereka banyak para pendeta dan orintalis yang meninggalkan forum ilmiah tersebut sebelum acara berakhir.
Kenyataan tersebut membuktikan bahwa perhatian meraka terhadap sunnah dan penyebarannya sangat besar. Ulama India banyak juga yang diutus ke eropa kemudia di sana mereka menerbitkan kitab-kita hadits seperti yang dilakukan oleh Doktor as-Sayyid Mu'azhzham Husain, yang menimba ilmunya di Universitas Oxford kemudian menerbitkan kitab yang berjudul "Ma'rifah Ulum al-Hadits" karya Hakim Abi Abdillah al-Naisaburi. Dalam kitab tersebut dia memberikan pengantar yang sangat agung serta menyertakan biografi penulis. Dan masih banyak lagi-lagi kontribusi ulama India dalam pematangan hadits.
Komentar
tidak dapat dipungkiri, india merupukan Negara yang sangat berjasa dalam mengembangkan hadits dan ulumuhu. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya kontribusi ulama india dalam pengembangan hadits. Sebgaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa ulama india sangat gigih mempelajari hadits.
Sejarah mencatat, pada pertengahan abad kesepuluh hijrah ulama india sangat tekun mempelajari hadits, ulumul hadits, meriwayatkan hadits, membahas riwayat tersebut mengkritiki sanad (Ash Shiddieqy, 1988: 126).

Tidak ada komentar: