Rabu, 13 Agustus 2008

suara aceh

DILEMA PEMEKARAN PROPINSI ACEH LEUSER ANTARA (ALA)
Oleh: Sayyidi Musthafa*

Serba Salah
Isu pemekaran Aceh Leuser Antara (ALA) sudah didengung-dengungkan oleh penduduk lima kabupaten yaitu, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tengah dan Aceh Sinkil, sejak tahun 2000. Alasan pemekaran tersebut disebabkan karena letak geografis antara propinsi NAD dengan kelima kabupaten tersebut realatif jauh. Implikasinya, kontrol dari pemerintah NAD tidak maksimal dan merata. Di samping itu, mutu pendidikan di kelima kabupaten tersebut sangat rendah.
Alasan lain adalah, secara kultural kelima penduduk kabupaten tersebut mempunyai perbedaan yang sangat signifikan dengan suku aceh. Kelima kabupaten tersebut bukanlah suku asli aceh, sehingga karena suku minoritas, mereka dianggap sebagai orang nomor dua.
Alasan tersebut bisa saja diterima dan dibenarkan, walaupun tidak secara keseluruhannya benar. Akan tetapi, perlu kita cermati lebih jauh lagi apakah alasan-alasan tersebut didasarkan pada bukti-bukti yang kuat? Kalau alasan tersebut didasarkan kepada bukti-bukti yang kuat, maka pemekaran suatu keniscayaan.
Namun perlu diketahui, jika pemekaran tetap dilaksanakan dalam situasi yang belum begitu kondusif seperti saat ini, maka kemungkinan timbulnya konflik baru (internal) tidak bisa dihindarkan. Mengapa konflik bisa terjadi kalau pemekaran propinsi Aceh Leuser Antara disetujui? Pertama, GAM merupakan penduduk yang paling berkuasa di NAD, sehingga jika pemekaran ini disetujui, mereka merasa kekuasaan dan perjuang mereka tidak dihargai. Walaupun GAM tidak ada secara struktural tetapi jiwa ke-GAM-an masih tertancap pada mantan GAM itu.
Kita masih ingat berapa lama GAM berjuang untuk memisahkan diri dari Indonesia. Perjuang tersebut tidaklah mudah, tetapi perjuangan tersebut penuh dengan tumpahan darah, jiwa, raga dan harta walaupun pada akhirnya tidak berhasil, tetapi setidaknya mereka telah membawa perubahan untuk Aceh secara keseluruhan. Kalau perjuangan tersebut dibalas dengan perpecahan dalam tubuh Aceh, maka konflik internal rawan terjadi. Ini bukan berarti pembentukan propinsi ALA tidak bisa dilakukan, hanya saja waktunya belum tepat. Kita harus berpikir jauh ke depan sebelum hal-hal yang tidak kita inginkan terjadi.
Masalah selanjutnya adalah, jika pemekaran propinsi ALA tidak dilakukan, maka keadaan buruk yang selama ini melanda calon propinsi ALA akan terus berlanjut. Hal ini disebabkan karena secara kultural calon propinsi ALA berbeda jauh dengan Aceh. Penduduk yang ada di kelima kabupaten ala itu bukanlah suku Aceh melainkan suku Gayo, Alas, dan Singkil. Semua suku tersebut adalah suku minoritas, sehingga acap kali suku minoritas tersebut termajinalkan.
Selanjut, bila dilihat dari pendidikan, kelima kabupaten tersebut masih tertinggal jauh dengan kabupaten lainnya. Keadaan tersebut diperparah oleh keadilan yang kurang merata. Hal tersebut disebabkan karena secara geografis letak kelima kabupaten tersebut relatif jauh dengan pemerintah pusat NAD dan sulit dijangkau, sehingga kontrol dari pemerintah pusat tidak efektif. Implikasinya keadaan kelima kabupaten tersebut carut-marut khususnya kabupaten Aceh Tenggara. Konon, kabupaten Aceh Tenggara Merupakan Kabupaten Yang Paling Tinggi Tingkat Korupsinya.
Itulah masalah yang harus kita pikirkan, jika propinsi ALA jadi dibentuk, maka kemungkinan timbulnya konflik internal harus dihadapi. Tapi jika propinsi ALA tidak jadi dimekarkan maka keadaan yang tidak menyenangkan, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus juga rasakan.
Sudahkah Kita Siap Membentuk Propinsi Baru?
Sebelum membentuk propinsi baru (ala) kita harus merenungkan pertanyaan di atas, sudahkah kita siap membentuk propinsi baru? Kalau kita sudah siap, sejauhmana persiapan kita? Dari realita yang kita lihat, kelima kabupaten tersebut sangat minim dalam sumber daya alam (sda) dan sumber daya manusia (sdm). Berapa besarkah sumber daya alam yang dimiliki oleh kelima kabupaten tersebut? Mampukah kita dengan sumber daya alam yang kita miliki membangun ala menjadi propinsi yang maju dan berperadaban? Masih banyak lagi pertanyaan yang harus kita ajukan sebelum membentuk propinsi aceh leuser antara.
Mampukah kita membangun propinsi baru dengan sumber daya manusia yang kita miliki? Berapa banyakkah sumber daya manusia yang kita miliki? Berapa banyak master yang kita miliki? Dan masih banyak pertanyaan yang harus kita ajukan sebelum membentuk propinsi baru.
Adapun data statistik yang menunjukkan bahwa kelima propinsi tersebut sudah layak untuk menjadi propinsi baru, bisa saja itu hanya sebuah rekayasa. Yang paling penting adalah realita dan fakta bukan data. Karena data bisa direkayasa. Intinya, kita harus berpikir lebih jauh ke depan sebelum kita terjerumus ke dalam jurang.
Pemekaran Bukan Hanya Kepenting Segelintir Orang
Jika pertanyaan-pertanyaan di atas sudah mampu kita jawab kita penuhi, maka silakan saja pembentukkan propinsi ala diwujudkan. dan kita juga harus siap dengan segala sumber daya yang kita miliki, menghadapi semua konsekuensi yang akan terjadi.
Yang terpenting adalah, jangan sesekali pemekaran propinsi ala hanya untuk memenuhi kepentingan segelintir orang. Jangan jadikan propinsi ala hanya untuk mendapat kursi jabatan. Kemudian kita menjual rakyat yang tidak tahu apa-apa.
Pembentukan propinsi ala adalah untuk kepenting semua elemen, bukan hanya untuk memenuhi kepentingan politikus yang berhati tikus. Pembentukan ala bukan hanya untuk memenuhi para elit, penjilat, para haus jabatan, haus materi, dan gemerlap dunia.
Tujuan dari pembentukan ala adalah untuk mengangkat kita semua dari keterpurukan yang selama ini mengrogoti kita. Niat baik ini tidak akan terwujud kalau sumber daya yang kita miliki tidak mencukupi. Dan jangan juga pembentukan ala hanya sebuah retorika – mengutip pernyataan Muchlis Gayo – yang hanya bertujuan untuk memenuhi kepentingan orang teretentu. Masyarakat, khususnya calon penduduk ala harus kritis menanggapi masalah tersebut. Masyarakat jangan sampai terprovokasi oleh retorika para pencari kekuasaan. Masyarakat harus benar-benar kritis dalam masalah ini. Jika tidak, masyarakat hanya akan dijadikan sebagai alat untuk kepentingan segelintir orang.
Ini bukanlah kecurigaan yang berlebihan, tetapi sebagai bentuk kehatian-hatian. Karena masalah pemekaran, masalah yang sangat urgen. Pemekaran propinsi, berarti kita akan memulai kehidupan kita dari nol. Kita seperti kertas kosong. Maka isilah kertas kosong dengan hal-hal yang baik. Karena catatan tersebut akan dibaca oleh dunia. Jika kertas kosong tersebut kita isi dengan catatan yang jelek, maka dunia juga akan membaca catatan kejelekan kita.

Jalan Alternatif
Masalah pemekaran propinsi ALA ini memang sangat dilema. Mengapa dikatakan dilema, karena kita berhadapan dengan dua masalah yang sama-sama tidak kita inginkan. Masalah pertama adalah, jika ALA jadi dimekarkan, maka kita akan berhadapan dengan konflik internal, sebagaimana yang penulis sebutkan sebelumnya. Kedua, jika ALA tidak dimekarkan, maka kita juga harus siap berada dalam kungkungan kelompok mayoritas. Pada umumnya, kelompok adalah kelompok yang paling berkuasa dalam setiap kegiatan. Untuk kasus yang terjadi sekarang ini adalah, calon penduduk ALA adalah penduduk minoritas jika dilihat dari sudut pandang budaya dan kultur.
Secara kultur dan budaya, calon penduduk ALA berbeda jauh dengan kultur Aceh secara umum. Calon penduduk ALA bukanlah suku Aceh. Karena itu, penduduk minoritas merasa kesulitan untuk melestarikan dan menjaga kebudayaan masing-masing. Ini disebabkan oleh adanya hegemoni budaya, bahasa, dan adat Aceh. Sehingga mau tidak mau, sebagai penduduk minoritas kita harus menerima hegemoni tersebut walaupun dengan perasaan terpaksa.
Jalan alternatif yang penuis tawarkan adalah menunda pemekaran Aceh sampai keadaan kondusif. Sehingga anggapan tidak tahu terimakasih atas perjuangan GAM reda. Penundaan tersebut juga harus dibarengi dengan penyiapan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia yang memadai, sehingga setelah tiba saatnya, kita benar-benar sudah siap menjadi propinsi. Inilah jalan yang terbaik menurut penulis. Penundaan dan penyiapan tersebut juga untuk menghindari ha-hal yang tidak diinginkan. Seperti, cemoohan dari penduduk lain atau warga Aceh secara khusus, jika ALA malah tambah bobrok dari sebelumnya.
Semua yang penulis kemukakan bukanlah bentuk ketidaksetujuan penulis dengan pemekaran ALA, hanya saja penulis merasa khawatir jika pemekaran ini dilaksanakan secara tergesa-gesa justru akan menjerumuskan kita ke dalam jurang. Penulis tetap saja setuju kalau keadaan sudah kondusif dan segala yang kebutuhan untuk pemekaran sudah dipersiapkan dengan matang.

Kesimpulan
Pemekaran ALA sangat dilema, kalau kita dihadapkan dengan dua masalah yang sama-sama tidak menguntungkan kita. Jika pemekaran Aceh dilaksanakan dalam waktu di mana keadaan belum begitu kondusif, maka timbulnya konflik internal tidak dapat kita dielakkan. Jika ALA juga tidak dimekarkan kemungkinan hilangnya kebudayaan Gayo pada khusunya tidak bisa hindari. Jalan alternatifnya adalah dengan menunda pemekaran sampai keadaan sudah kondusif dan persiapan sudah matang.
Penulis juga menghimbai kepada para ilmuwan Aceh untuk lebih mencermati pemekaran ALA ini. Pemekaran ini jangan hanya dilihat dari aspek positifnya, tetapi juga harus dilihat dari efek negatifnya. Sehingga dengan demikian, pemekaran Aceh bukan hanya sebuah retorika yang kemudian mengorbankan orang banyak untuk memenuhi kepenting segelintir orang.


*penulis adalah mahasiswa Institut Dirosat Islamiyah
Al-Amien (IDIA) Prenduan Sumenep Madura Jawa Timur Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits
Berasal dari Aceh Tenggara.

Tidak ada komentar: