Rabu, 13 Agustus 2008

SUNNATULLAH

SUNNATULLAH MENURUT AL-QUR'AN:
Telaah Atas Penafsiran Quraish Shihab Tentang Sunnatullah
Oleh: Sayyidi Musthafa

A. Pendahuluan
Allah SWT menjadi langit dan bumi beserta isinya. Di langit ada bintang-bintang, mentari, dan mahkluk angkasa lainnya. Di bumi Allah SWT menciptakan lautan, gunung, binatang, manusia, dan lain sebagainya. Semua ciptaan Allah tersebut hidup dalam keteraturan, keharmonisan dan keserasian.
Coba lihat perputaran matahari, planet dan bulan, mereka tetap berjalan pada porosnya. Tidak berbenturan satu sama lainnya. Seandainya semua itu tidak ada yang mengaturnya tentu akan hancur, dan bumi pun juga akan musnah. Tetapi semua tidak terjadi. Coba bayangkan seandainya dibumi tidak ada malam, niscaya daerah kutup akan mencair, volume lautan meningkat dan lain sebagainya. Seandainya bumi terus-menrus dalam keadaan malam, sinar mentari tidak ada, suhu bumi berada pada posisi nol derajat celsius sudah dapat dipastikan dunia akan beku. Dan begitu seterusnya.
Begitupun dengan kehidupan sosial, penuh dengan keharmonisan dan keteraturan. Ada kaya, ada miskin, ada kuat ada lemah. Dan lain sebagainya. Bias dibayangkan seandainya manusia ssemua kaya, pasti tidak ada yang mau jadi tukang becak, tidak ada tukang cuci, tidak ada angkot dan lain sebagainya. Kehidupan tidak akan indah dan harmonis. Kaya tidak ada artinya, kuat tidak bermakna. Adanya kaya, miskin, kuat, lemah, sehat, sakit, tinggi pendek, pintar, bodoh, gelap, terang, baik, buruk, air mengalir dari tempat tinggi ketempat rendah dan seterusnya merupakan ketetapan Allah yang berlaku sepanjang masa pada kehidupan kemasyarakatan. Ketetapan itu disebut dengan hukum-hukum alam, hukum kemasyarakatan atau sunnatullah. Ketetapan itu tidak berubah dan beralih sebagaimana yang disinyalir dalam banyak ayat al-Qur'an.
ولن تجد لسنة الله تبديلا
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis memokuskan pembahasan singkat ini pada, apa itu sunnatullah menurut Quraish Shihab? bagaimana pandangan Quraish Shihab tentang sunnatullah? Untuk mendapatkan jawaban permasalah ini, penulis mengkaji tafsir al-mishbah karangan Quraish Shihab tentang ayat-ayat sunnatullah dan beberapa bukunya yang lain serta buku karangan orang lain yang relevan dengan masalah tersebut.
B. Sunnatullah Menurut Al-Qur'an
1. Pengertian sunnatullah
Sunnatullah terdiri dua suku kata, yaitu sunnah dan Allah. Sunnah dian-tara artinya adalah kebiasaan. Jadi sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan atau ketetapan-ketetapan Allah dalam memperlakukan masyarakat. Kata sunnatullah dan yang sejenisnya seperti sunnatuna, sunnatu al-awwalin terulang sebanyak tiga belas kali dalam al-Qur'an. Jika dipukulratakan secara statistik, semua kata tersebut berbicara dalam konteks kemasyarakatan.[1]
Sunnatullah atau disebut juga dengan hukum alam, hukum kemasyarakat-an, atau ketetapan-ketetapan Allah menyangkut situasi kemasyarakatan, tidak da-pat dialihkan dan diubah oleh siapapun.[2] Sunnatullah ini sudah berlaku juga umat-umat sebelum umat Nabi Muhammad SAW[3] dan berlaku secara umum serta terus-menerus terjadi.[4] Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur'an yang berbunyi
... فهل ينظرون إلا سنت الله الأولين فلن تجد لسنة الله تبديلا ولن تجد لسنة الله تحويلا.
Artinya: …tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunah Allah, sekali-kali kamu tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunah Allah itu.[5]
سنة الله التي قد خلت من قبل ولن تجد لسنة الله تبديلا
Artinya: sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.[6]
Sebenarnya masih banyak lagi ayat al-Qur'an yang membahas masalah ini. Dan semua ayat tersebut berbicara dalam konteks kemasyaratan.
Al-Qur'an merupakan kitab pertama kali yang membicarakan tentang hukum alam (sunnatullah).[7] Dulu hukum ini tidak populer dan tidak diketahui masyarakat. Barulah al-Qur'an tampil menjelaskan hukum ini, yaitu sunnatullah atau hukum kemasyarakatan. Bahwa disamping ajal perorangan (individu) ada juga ajal bagi masyarakat, begitulah kata Quraish Shihab.[8]
Segala sesuatu lanjut Quraish Shihab, ada kadar dan sebabnya, maka usia dan runtuhnya suatu sistem dalam masyakat pasti ada juga kadar dan ada pula penyebabnya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur'an.
وإن كادوا ليستفزونك من الأرض ليخرجوك منها وإذا لايابثون خلافك إلا قليلا. سنة من قد أرسلنا قبلك من رسلنا ولا تجد لسنتنا تحويلا.
Artinya: dan sesungguhnya benar-benar mereka hampirmembuatmu gelisah di negeri (mekah) untuk mengusirmu darinya dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tinngal, melainkan sebentar saja. (kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul kami yang kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati peubahan bagi ketetapan kami itu.[9]
Ayat tersebut diatas menjadi salah satu hukum kemasyarakatan yang menjelaskan kadar dan penyebab keruntuhan itu, yakni apabila suatu masyarakat telah sampai pada tingkat yang telah amat sangat menggelisahkan sekali, maka ketika itu akan runtuh.[10]
Uarain al-Qur'an tentang hukum kemasyarakatan, hukum alam atau sunnatullah wajar, karena al-Qur'an merupakan kitab suci dan transenden yang berfungsi mengeluarkan manusia dari gelap-gulita (al-dhulumat) menuju terang benderang (al-nur).[11]
2. Pandangan Quraish Shihab tentang sunnatullah
Quraish shihab mendeskripsikan sunnatullah dengan contoh, "jika kecelakaan fatal terjadi dan semua penumpang tewas, maka itu disebut dengan sunnatullah. Tapi apabila ada kecelakaan sedemikian hebat, menurut perkiraan semua penumpangnya tewas, tetapi jika ada penumpang yang selamat, itu bukan sunnatullah tetapi 'iyanatullah, yaitu salah satu bentuk pertolongan dan pemeliharaan Allah".[12]
Dari uarain diatas, dapat disimpulkan bahwa Quraish Shihab membedakan antara sunnatullah dengan 'iyanatullah. Meskipun dalam banyak hal, Allah memperlakukan masyarakat sesuai dengan hukum alam atau kebiasaan-kebiasaan yang berlaku secara umum, namun kadangkala Allah melanggar hukum tersebut.[13] Pelanggaran tersebut bukan berarti Allah dhalim – al-'iyadz bi Allah – tetapi itu merupakan bentuk pemeliharaan-Nya bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya.
disamping ada sunnatullah, dan dengan hukum ini Allah memperlakukan masyarakat, ada juga yang namanya 'iyanatullah, yaitu pemeliharaan Allah dalam memperlakukan masyarakat bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya. Seperti Nabi Ibrahim a.s. ketika dibakar, menurut kebiasaan orang yang dibakar pasti akan merasakan panas dan terbakar bahkan hangus. Tapi kebiasaan tersebut tidak berlaku bagi Nabi Ibrahim a.s., ini bukan berarti Allah melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya, melainkan bentuk pemeliharaan Allah atau dengan kata lain disebut dengan mu'jizat yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim a.s.
Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan, bahwa "segala sesuatu yang berada di dalam alam raya ini baik sistem kerjanya maupun sebab dan wujudnya kesemuanya adalah hasil perbuatan Allah SWT semata. Apa yang dikehendaki-Nya terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak terjadi. Manusia tidak punya daya dan upaya memperoleh manfaat dan menolak mudharat kecuali bersumber dari Allah SWT. Tetapi ini bukan berarti Allah SWT berlaku sewenang-wenang atau bekerja tanpa ada sistem yang ditetapkan-Nya. Itu merupakan bentuk keesaan perbuatan-Nya yang dikaitkan dengan hukum, takdir, atau sunnatullah yang ditetapkan-Nya".[14]
Pernyataan ini dipertegas oleh Umar Shihab yang mengatakan "bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, seperti kebakaran, banjir, kemalingan, kematian, kerusakan, kecelakaan serta segala musibah yang lainnya merupakan sunnatullah yang berlaku secara mutlak.[15]
Pernyataan tersebut diatas merupakan penegasan bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini merupakan perbuatan Allah SWT sesuai dengan hukum-hukum atau kebiasaan-kebiasaan yang telah ditetapkan-Nya. Tidak ada satupun di dunia ini yang terlepas dari sunnatullah.
Di buku yang lain Quraish Shihab menjelaskan bahwa hukum alam itu atau para agamawan menyebutnya dengan sunnatullah identik dengan hukum sebab dan akibat. Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan bahwa "hukum alam atau sunnatullah merupakan ketetapan-ketetapan Tuhan yang lazim berlaku dalam kehidupan nyata, seperti hukum sebab dan akibat".[16]
Tetapi, demikian Quraish Shihab, bukanlah sebab yang menjadikan akibat – sebagaimana pendapat kebanyakan para ilmuwan. Hakikat sebab hanya diketahui bahwa ia ada sebelum terjadi akibat. Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa "sebab" itulah yang mewujudkan "akibat". Janganlah kamu menduga ujar Quraish Shihab bahwa "sebab itulah yang mewujudkan "akibat".[17]
Banyak sekali faktor ilmiah yang tidak mendukung bahwa sebablah yang menjadikan akibat. "Cahaya yang terlihat sebelum terdengarnya suara letusan pada meriam tidak bisa dianggap bahwa cahaya itulah yang menjadikan letusan itu", demikian kata David Hume (1711-1716 M). Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikatakan Imam Ghazali (1059-1111 M) " ayam selalu berkokok sebelum terbitnya fajar, tetapi bukanlah kokokan ayam itu yang menjadikan terbitnya fajar".[18]
Sekarang ini banyak sekali hal luar biasa yang bertentangan dengan kebiasaan masa silam, seperti orang yang sudah berusia lanjut dapat mengandung dan melahirkan – akibat rekayasa genetika. Hal ini tidak dapat kita katakan hal yang luar biasa atau diluar kebiasaan (sunnatullah). Kaitannya dengan mukjizat, bisa saja mukjizat itu mempuyai hukum tersendiri juga. bila faktor-faktor penye-bab terhimpun maka terjadilah hal yang luar biasa. Tetapi kekuatan luar biasa itu tidaklah bertentangan dengan akal manusia. Hanya keterbatasan manusia tentang hukum-hukum alam itu sajalah yang membuat hal itu sukar dipahami. Sehingga akhirnya tepatlah apa yang dikatakan Einstein, "apa yang terjadi, semuanya diwujudkan oleh suatu kekuatan Yang Mahadahsyat lagi Maha Mengetahui (superior reasoning power)".[19]
C. Kaitan Sunnatullah dengan Teologi
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tidak terlepas dari yang namanya sunnatullah, artinya segala kejadian di dunia ini terjadi sesuai dengan sunnatullah. Bagaimana dengan kekuasaan mutlak Tuhan? Apakah hukum ini menjadikan kekuasaan mutlak Tuhan tidak mutlak lagi? Aliran kalam rasional mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan tidak mutlak lagi. Ketidakmutlakan itu disebabkan oleh kebebasan yang diberikan Tuhan manusia kepada manusia, keadilan Tuhan, serta adanya hukum-hukum alam (sunnatullah) yang tidak pernah berubah dan beralih.[20]
Artinya kebebasan Tuhan terikan oleh norma-norma yang dibuatnya sendiri yaitu sunnatullah. Tuhan berbuat sesuai dengan hukum tersebut. Hal ini membuktikan keadilah Tuhan. Dia berbuat sesuai dengan peraturan yang Dia buat sendiri. Artinya perbuatan Tuhan terbatas, hal ini disebabkan oleh sunnatullah yang tidak berubah – atas kehendak Tuhan sendiri. Aliran ini merupakan pemahaman aliran kalam rasional[21], yaitu Mu'tazilah.[22]
Menurut penulis, kekuasaan Tuhan tetap saja mutlak. sunnatullah tidak dapat membatasi kekuasaan dan kehendak Tuhan. Hanya saja Tuhan menjadikan sunnatullah sebagai norma-norma dalam memperlakukan masyarakat. Sunnatullah itu juga atas kehendak-Nya sendiri. Hemat penulis, sunnatullah bukanlah pembatas kekuasaan Tuhan tetapi Tuhan berbuat sesuai dengan – atas kehendak-Nya sendiri.
Berkaitan dengan kekuasaan mutlak Tuhan, hamka mengatakan bahwa "Tuhan memang berkuasa mutlak. kehendak mutlak Tuhan itu tidaklah berlaku-sewenang-wenang, semua takdir Allah mempunyai jalan tersendiri, yakni yang penuh dengan hikmat kebijaksanaan Yang maha tinggi".[23]
Hikmat kebijaksaan ini hanya dapat diterima oleh orang yang berpikiran jernih. Kekuasaan dan kehendak Tuhan berlaku berdasarkan hikmat kebijaksanaan yang maha tinggi serta kebebasan berpikir yang diberikan Tuhan kepada manusia.
Memang ada hal yang terjadi di dunia yang menurut akal manusia ber-tentangan dengan akal, namun pada hakikatnya hal tersebut tidaklah bertentangan dengan akal hanya akal sajalah yang tidak mampu menangkapnya. Dan semua perbuatan Tuhan – walaupun akal menganggap perbuatan itu sewenang-wenang –mempunyai hikmah tersendiri, ini yang dimaksud oleh dengan HAMKA "hikmat kebijksanaan yang mahatinggi".
Tuhan tidak berbuat sewenang-wenang, tapi semua perbuatan Tuhan itu sesuai dengan sunnatullah yang penuh hikmah.
D. Penutup
komentar dan kritik
sunnatullah atau hukum alam adalah ketetapan-ketetapan Allah dalam memperlakukan masyarakat. Hukum ini tidak berubah dan tidak beralih. Quraish Shihab banyak menyinggung masalah sunnatullah ini dalam bukunya terutama dalam tafsir al-mishbah dan buku-bukunya yang lain.
Menurut Quraish Shihab bahwa Allah memperlakukan masyarakat sesuai dengan sunnatullah. Sunnatullah merupakan aturan yang sudah ditetapkan Allah sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Semua yang terjadi di dunia ini atas kehendak Allah SWT. Tidak satupun terlepas dari kehendak Allah, namun kehendak Allah itu sesuai dengan aturan yang telah dibuatnya yaitu sunnatullah.
Penulis setuju dengan apa yang dikatakan oleh Quraih Shihab yang me-ngatakan bahwa disamping ada sunnatullah – dan dengan ini Allah memper-lakukan masyaraktnya – ada juga yang namanya 'iyanatullah, yaitu pemeliharaan Allah kepada orang-orang yang dikehendakinya. Atau mukjizat untuk para nabi. Namun kata quraish shihab juga bahwa mukjizat itu juga tidak bertentangan dengan hu-kum alam atau sunnatullah . Hanya saja akal manusia tidak dapat memahaminya disebabkan karena keternbatasan pengetahuan manusia tentang sunnatullah itu sendiri.
Hemat penulis, penulis sependapat dengan pendapat Quraish Shihab ten-tang sunnatullah.
kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa simpulan antara lain:
a. Sunnatullah, hukum alam, atau hukum kemasyarakatan merupakan ketetapan-ketetapan atau kebiasaan-kebiasaan Allah dalam memper-lakukan masyarakat. Tidak berubah dan tidak beralih. Dengan hukum inilah Allah memperlakukan masyarakat.
b. Segala yang terjadi di alam semesta ini, seperti banjir, kebakaran, kecurian, kematian dan musibah yang lainnya semua terjadi berda-sarkan sunnatullah yang berlaku secara mutlak. Manusia tadak dapat menerima manfaat dan menolak mudharat kecuali atas kehendaknya. Tapi bukan berarti Allah kerkehendak sesuka hatinya, Allah berkehen-dak sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkannya yaitu sunna-tullah.
c. Disamping sunnatullah ada juga yang namanya 'iyanatullah yaitu pe-meliharaan Allah atas masyarakat atau atas orang-orang yang dike-hendakinya.
d. Sebenarnya tidaklah membatasi kehendak dan kekuasaannya. Karena kehendak dan kekuasaan-Nya tidak terbatas. Namun Allah meletakkan hukum ini sebagai dasar dalam memperlakukan masyarakat. Hukum ini tidak berubah dan beralih, Allah tidak akan mengingkari janji-Nya. Atau dengan kata yang lebih ringkas " sunnatullah tidaklah memba-tasi kekuasaan Allah namun Allah menjadikannya sebagai norma-norma dalam memperlakukan masyarakat".
Demikianlah uraian singkat tentang " Sunnatullah Menurut al-Qur'an Telaah atas Penafsiran Quraish Shihab tentang Sunnatullah ". Akhirnya kepada Allah penulis meminta am-pun atas segala kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Semoga tuli-san ini menjadi al-amal al-shalih.
Wa Allah a'lam bi al-shawaab.








[1]. Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005) vol. XI, 11 Cet. III, hlm. 494. lihat juga pada halaman 322 dan surat ke-48 ayat 23.
[2]. Ibid.
[3]. Ibid, hlm. 322.
[4]. Ibid, hlm. 283.
[5]. Qu'an Surat Fathir (35): 4l.
[6]. Qur'an Surat al-Ahzab (48): 23.
[7]. Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an (Jakarta: 2005), vol. XII 7, cet. III hlm. 521. lihat juga Umar Shihab, Kontekstual al-Qur'an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur'an, (Jakarta: permadani) , 2003,hlm. 82.
[8]. Ibid.
[9]. Qur'an Surat al-Isra' ayat: 76-77.
[10]. Ibid, hlm. 523.
[11]. Lihat Umar Shihab, Kontekstual al-Qur'an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur'an, (Jakarta: Permadani), 2003 hlm. 82
[12]. Lihat Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, (Jakarta: Lentera Hati), cet. VIII, 2006, hlm. 197.
[13]. Menurut penulis itu bukan bentuk pelanggaran Allah atas sunnatullah yang telah di-tetapkan-Nya. Anggapan tersebut hanya disebabkan karena kekurangan pengetahuan manusia tentang hukum alam (sunnatullah)
[14]. Ibid, hlm. 318.
[15]. Umar Shihab, ibid, 323.

[16]. Lihat Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur'an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung; Mizan, 2006), cet.XV hlm. 28.
[17]. Ibid. hlm. 28-29.
[18]. Ibid, hlm. 29.
[19]. Ibid.
[20]. lihat M. Yunan Yusuf, Corak Penafsiran Kalam Tafsir al-Azhar: Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, (Jakarta: Permadani), cet. II 2003, hlm. 89.
[21]. secara garis besar ada dua aliran kalam dalam islam, yaitu aliran kalam rasional dan aliran kalam tradisional. Aliran kalam rasional diwakili oleh Mu'tazilah dan Maturidiyyah Samarkand. Sedangkan aliran kalam tradisional diwakili oleh Asy'ariyyah dan Maturidiyyah Bukhara. Untuk lebih jelasnya lihat M. Yunan Yusuf, ibid, hlm. 7.
[22]. M. Yunan Yusuf, ibid, hlm. 90.
[23]. Ibid, hlm. 168.

3 komentar:

JONI HARNEDI, S.Fil.I., MIS mengatakan...

apakah ini sudah ada dalam bentuk skripsi atau thesis........

JONI HARNEDI, S.Fil.I., MIS mengatakan...

apakah ini sudah ada dalam penelitian skripsi atau lainnya....

nevi mengatakan...

teman sya,mndefinisikan sunnatullah adalah ktetapan Allah dlm kurun wkt trtntu,yg mngakibatkan ia prcya akan adany nabi lg,sblm ia trsesat smkin jauh,tlg bntu sya..trmakasih