Rabu, 13 Agustus 2008

KEMAHASISWAAN

KEMOROSOTAN TRADISI ILMIAH
(Sebuah Refleksi Tentang IDIA Prenduan)
Oleh: Sayyidi Musthafa

Lembaga Perguruan Tinggi, di manapun dan apapun bentuk Perguruan Tingginya, semua elemen di dalamnya dituntut untuk hidup dalam tradisi ilmiah. Orang tidak akan mengakui kita, kalau kita tidak mentaati aturan-aturan ilmiah yang telah berlaku secara umum. Tradisi ilmiah dalam Perguruan Tinggi seharusnya menjadi ruh dalam setiap perbuatan dan kegiatan.
Di samping itu, semua elemen Perguruan Tinggi, khususnya mahasiswa dan dosen seharusnya terbiasa dengan kegiatan tulis-menulis. Kegiatan tulis-menulis ini sangat urgen bagi ilmuan dan calon ilmuan (dosen dan mahasiwa). Karena kalau kita tidak mempunyai karya tulis, maka ilmu dan pengetahuan yang kita miliki tidak dapat diakses oleh orang lain, kecuali orang-orang yang kita ajari dan orang-orang yang bergaul dengan kita. Dan itupun ruang lingkupnya sangat sempit.
Kalau kita berkaca kepada sejarah zaman keemasan Islam, di mana tradisi ilmiah terutama dalam hal tulis-menulis sangat dijunjung tinggi oleh ulama kita. Kita mengenal pemikiran mereka dari karya tulisnya. Kita bisa bayangkan, seandainya ulama terdahulu—seperti Imam syafi'i, Ibnu Hajar, Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd dan masih banyak lagi yang lainnya—tidak membiasakan budaya tulis-menulis, niscaya kita tidak akan tahu bagaimana kemahiran mereka dalam ilmu keislaman.
Sebenarnya tradisi ilmiah khususnya dalam bidang tulis-menulis, bukan hanya berlaku untuk Perguruan Tinggi semata tetapi seharusnya tradisi tulis-menulis itu harus menajadi kebiasaan santri, kiai dan ilmuan muslim. Karena tradisi tulis-menulis ini adalah warisan (al-turats) ulama terdahulu (al-salaf al-shalih) yang harus kita jaga dan kita lestarikan. Hal ini sesuai dengan falsafah yang populer di lingkungan pondok pesantren "al-Muhafadhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah".
Realita yang kita lihat sekarang ini, mahasiswa muslim khususnya mahasiswa IDIA Prenduan dan lebih khusus lagi santri dan para kiai yang terhormat, tidak lagi mengindahkan falsafah tersebut. Kiai sekarang ini hanya bisa mengajar, berceramah dan meberikan tausyiah, tetapi mereka krisis karya tulis. Memang ada segelintir kiai yang produktif tetapi itu hanyalah pengecualian—saya mohon maaf kepada mereka yang produktif. Kita bisa hitung berapa banyak kiai yang ada di Indonesia. Tidak usah terlalu jauh, kita bisa hitung berapa banyak kiai yang ada di pondok kita ini, tetapi berapa banyak dari mereka yang aktif dan produktif menulis. Dan bukan hanya para kiai kita yang krisis tradisi tulis-menulis tetapi juga dosen-dosen kita yang seharusnya menularkan tradisi tulis-menulis kepada mahasiswa, ternyata krisis tradisi tersebut. Sungguh sangat kita sayangkan lembaga kita ini tidak bisa melestarikan warisan (al-turats) ulama kita terdahulu khususnya dalam tradisi tulis-menulis.
Yang menjadi pertanyaan kita sekarang adalah, "mengapa para kiai tidak produktif?" sebuah pertanyaan yang masih tabu di lingkungan pondok pesantren— tapi saya yakin Al-Amien tidak termasuk bagian tersebut. Pertanyaan ini muncul dari kegelisahan yang selama ini meliputi penulis. Dan penulis mohon maaf kalau pertanyaan tersebut membuat pihak yang bersangkutan tersinggung. Kemudian saya memohon kepada Allah Swt. Yang Maha Tahu segala-galanya supaya pertanyaan tersebut tidak menjadikan ilmu yang telah mereka berikan, menjadi ilmu yang tidak bermanfaat dan barokah.
Kembali kepertanyaan di atas, "mengapa para kiai tidak produktif?". Dari pertanyaan tersebut akan muncul bermacam-macam jawaban sesuai dengan sudut pandang penjawabnya. Muculnya pertanyaan tersebut bisa saja disebabkan oleh antara lain: pertama, para kiai terlalu sibuk mengurus santri. Kalau kesibukan dijadikan sebagai alasan, maka semua orang punya kesibukan masing-masing. Menurut penulis, kalau seandainya kita punya tradisi tulis-menulis yang baik, maka sesibuk apapun kita, kita akan berusaha meluangkan waktu untuk menulis. Bukankah tulis-menulis juga merupakan bagian dari ibadah? Kalau seandainya ulama (kiai) kita sadar akan hal itu maka krisis tulis-menulis tidak akan pernah terjadi. Sebenarnya mereka (ulama, ustadz dan kiai) semua tahu akan hal itu tetapi mereka…?
Kedua, para kiai kita—semoga Allah Swt. memberikan rahmat kepada mereka –mungkin tidak membiasakan diri hidup dengan tradisi tulis-menulis. Sehingga keahlian dan ilmu yang bergudang-gudang dalam kepala mereka hanya bisa kita akses secara langsung dan itupun oleh orang yang tertentu saja. Pernyataan yang kedua ini, menurut penulis lebih tepat. Bisa saja kurangnya kesadaran ilmiah itu disebabkan oleh lingkungan yang membentuk mereka. Lingkungan yang dimaksud adalah tempat mereka menuntut ilmu. Tentu saja tempat tersebut adalah pesantren. Karena yang mencetak para kiai (bukan kiai keturunan) adalah pesantren.
Pertanyaan berikutnya adalah mengapa pesantren tidak bisa mencetak kiai yang gemar tulis-menulis? Adakah yang salah dengan pesantren? Kalau dilihat sekilas, memang jarang sekali pesantren yang mengajarkan tradisi tulis-menulis ini. Sehingga santri yang kemudian menjadi kiai—walaupun tidak semuanya—tidak produktif dan mereka hanya bisa berbicara dan tidak bisa menulis.
Realita tersebut sungguh sangat kita sayangkan, karena pesantren yang seharusnya menjadi tempat untuk melestarikan tradisi ulama kita terdahulu (al-salaf al-shalih) justru tidak bisa melestarikan tradisi tulis-menulis yang sangat berharga itu. Realita tersebut membuat para kiai tidak dikenal oleh orang lain dan kemudian setelah mereka meniggalkan dunia ini, kita tidak bisa lagi mengakses lagi ilmu-ilmu mereka. Coba saja kalau seandainya mereka punya karya-karya hasil pemikiran mereka, otomatis pemikiran mereka akan terus hidup dan akan selalu dipelajari sampai akhir masa walaupun mereka telah tiada. Dan insya-Allah karya tersebut akan menjadi ilmu nafi' yang pahalanya terus-menerus mengalir.
Sebagai harapan dari penulis, ayolah para kiai yang terhormat tuangkanlah ilmu-ilmu yang engkau miliki itu dalam bentuk tulisan sehingga kami bisa mengakses pemikiranmu walaupun engkau telah tiada.
Wa Allah A'lam bi al-Shawab.

MENJADI MAHASISWA YANG IDEAL
Mahsiswa adalah agent of changes. Idealnya mahasiswa bisa melakukan perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Disamping itu juga mahasiswa juga dituntut untuk bisa memberdayakan masyarakat sekitarnya sebagai implementasi dari tri darma perguruan tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat.
Tapi realitanya, tidak sedikit mahasiswa setelah menyelesaikan studinya di perguruan tinggi tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Yang lebih menyakitkan lagi, sebagian mahasiswa yang telah menyelesaikan studinya di perguruan tinggi dan setelah menyandang gelar sarjana, tidak berbeda dengan masyarakat yang notabenya tidak pernah mengenyam pendidikan.
Realita tersebut tidak bisa dipungkiri. Anda mungkin banyak melihat banyak sarjan yang menjalani profesinya sebagai tukang becak, kuli, tukang ojek dan lain sebagainya. Melihat melihat fenomena tersebut, sebagian masyarakat ragu dengan perguruan tinggi. Mereka takut anak mereka tidak bisa berbuat apa-apa setelah menyandang gelar sarjana, sehingga gelar yang ia sandang menjadi beban yang tiada terpikul.
Sebagian orang salah dalam memandang perguruan tinggi. Mereka menganggap perguruan tinggi sebagai tempat yang bertujuan untuk memudahkan mendapatkan pekerjaan. Padahal perkerjaan tinggi bukanlah tempat seperti yang mereka bayangkan. Kesalahan persepsi itu, membuat sebagian mahasiswa kuliah untuk mendapatkan gelar sarjana semata yang dijustifikasi dengan selembar izajah. Bukan hanya itu, kesalahan persepsi itu juga membuat sebagian mahasiswa kuliah hanya untuk berpoya-poya, tren, pamer dan lain sebagainya. Sehingga keluar dari perguruan hanya menambah bilangan pengguran. Sehingga tidak jarang sarjana jadi tukang becak, tukang ojek, kuli, tukang semer sepatu dan lain sebaginya.
Sejatinya, kita berpandangan bahwa kulian bukanlah untuk mencari pekerjaan atau hanya sekedar mendapatkan gelar yang disahkah dengan selembar ijazah. Tetapi kuliah untuk mencari ilmu semata dengan niat ibadah. Sehingga dengan ilmu tersebut kita dapat membantu masyarakat awam, kita mampu menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintaha dan mampu melakukah perubahan kearah yang lebih baik.
Kalau pandangan dibangun sedemikian rupa, maka gelar menjadi nomor sekian, apalagi ijazah, hanya selembar kertas. Tipologi mahasiswa seperti ini, biasanya orangnya kritis, ilmiah, liberal dan ideal. Tipologi inilah yang hanya layak disebut sebagai mahasiswa dan sarjana.
Mungkin bisa diringkas tipologi mahasiswa menjadi tiga: pertama, mahasiswa yang kulian hanya untuk mendapatkan gelar. Mahasiswa seperti ini biasanya sering bolos, malas, tidak punya orientasi yang jelas, ngaur dan hedonis.
Kedua, mahasiswa yang kuliah untuk kerja. Mahasiswa dengan tipologi seperti ini lebih baik dari tipologi pertama. Tipologi ini biasanya orangnya agak rajin kuliah, suka cari perhatian dosen, ingin cepat lulus, ingin punya nilai bagus, intanisme dan setelah bisa kerja (PNS)
Ketiga, mahasiswa yang kuliah hanya semata-mata untuk mencari ilmu. Mahasiswa seperti ini biasanya rajin, kritis, idealis, rajin, mengikuti kegiatan kemahasiswaan atau keorganisasian, kutu buku, gelar bukan tujuan apalagi ijazah.
Tipologi ketiga adalah tipologi yang ideal. Dan biasanya tipologi yang ketiga ini lebih banyak yang sukses. Dan tidak bingun setelah kembali ke masyarakat. Tipologi yang manakah kita? Anda lebih tahu jawabannya.
Wa Allah A'lam bi al-Shawab

Tidak ada komentar: