Rabu, 13 Agustus 2008

ISLAM AGAMA RAHMATAN LIL 'ALAMIN

A. Pendahuluan
islam adalah agama penyempurna, yaitu penyempurna agama-agama yang terdahulu. Islam adalah agama yang dibawa oleh nabi ummiy. Kebenaran ajarannya berlaku secara universal. Islam tidak mengenal kekerasan dan permusuhan, melainkan islam merupakan agama yang penuh dengan kasih sayang, kedamaian dan ketenteraman. Banyak orang menganggap islam itu disebarkan dengan pedang, sehingga islam identik dengan kekerasan dan perang. Kalau kita cermati lebih jauh, bagaimana islam sebenarnya dan sesungguhnya, sungguh kita akan mengatakan islam bukanlah agama kekerasan dan perang tetapi agama yang penuh dengan kasih sayang dan kedamaian.
Orang yang mengatakan islam adalah agama pedang (keras), adalah orang yang memandang islam dengan paradigma yang salah dan ada ideologi yang membuat dia tidak objektif memandang islam. Kebenaran islam sedikit demi sedikit kini mulai diakui kekebenarannya oleh orang-orang yang dulunya memusuhi islam. Banyak non muslim terutama pendeta yang masuk agama islam karena mereka mengetahui akan kebenaran dan kesucian islam.
Kebenaran islam terbukti dari ajaran-ajarannya yang penuh dengan rahmat. Islam tidak pernah menyuruh untuk berlaku kasar tetapi sebaliknya islam menyuruh kita untuk selalu menebar rahmat bagi sekitar kita, hatta sampai perangpun islam menyuruh untuk tidak berbuat kasar terhadap musuh apalagi saudara seiman dan seakidah. Sebagai contoh, dalam perang islam tidak membolehkan kita untuk membunuh anak-anak, orang tua dan wanita. Hal ini membuktikan kalau islam adalah agama cinta damai.
Lebih jauh lagi islam adalah agama pembawa rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya bagi pemeluknya saja, tapi juga untuk orang lain, bukan hanya bagi manusia tapi juga bagi binatang dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt.
و ما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
Dan kami tidak mengutus engkau (muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi alam semesta.
B. Pengertian Islam
Secara bahasa islam berasal dari kata aslama yang diantara artinya adalah penyerahan diri, ketundukan atau keselamatan (as-salam). Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa islam adalah agama penyerahan diri kepada sang khaliq dan tunduk atas aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh allah dan rasulnya. Disamping itu juga islam adalah agama keselamatan dan cinta damai (as-salam).
Pengertian tersebut ada relevansinya dengan ayat yang berbunyi
و ما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
Dan kami tidak mengutus engkau (muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi alam semesta. Ayat tersebut menjelaskan bahwa salah tujuan diutusnya nabi Muhammad saw adalah untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.
"Menurut al-Imam al-Qadli Abu al-Fadhl ’Iyadl bin Musa bin Iyadl al-Yahshabi al -Maliki, ayat ini termasuk rangkaian ayat-ayat al-Quran yang menerangkan kebesaran dan keagungan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad.saw. Ayat ini oleh sebagian ulama ditafsiri sebagai, 'rahmat bagi seluruh makhluq; rahmat bagi orang-orang mukmin di artikan sebagai petunjuk dan sebagai keamanan bagi orang munafik dan penundaan siksa bagi orang-orang kafir'. Menurut Ibnu ‘Abbas R.A’ ditafsiri dengan “rahmat bagi orang-orang mu’min dan orang-orang kafir’karna mereka di ampuni dari berbagai macam siksa yang ditimpakan terhadap ummat-ummat sebelumnya yang mendustakan nabinya”. Demikian tulis al-Qadli ’Iyadl dalam karya monumentalnya al-Syifa bi-Ta’tifi Huquq al-Mushthafa.".
bukan hanya bagi manusia islam menjadi rahmat tapi juga bagi binatang dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini terlihat dari etika islam ketika menyembelih hewan. Islam menganjurkan untuk menyembelihnya dengan pisau yang tajam[1]. Tujuannya adalah supaya binatang yang disembelih tersebut tidak merasa tersiksa. Bayangkan saja jika binatang yang disembelih dengan pisau yang tumpul, tentu saja hal tersebut akan membuat hewan tersebut kesakitan dan merasa tersiksa. Etika seperti ini tidak kita temukan sebelum islam datang. Konon sebelum islam datang orang yang ingin memakan danging hewan, tidak disembelih terlebih dahulu tetapi langsung diambil begitu saja dagingnya.
Lebih jauh dapat dipahami, ke-ramhmat-an islam harus diaplikasikan dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan menjadikan diri kita sebagai umat yang moderat (ummah wasath) dan menanamkan dalam diri setiap muslim rasa toleransi yang tinggi untuk menciptakan kesejahteraan yang abadi antar agama.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa salah satu terjadinya konflik antar agama adalah tidak adanya toleransi antar pemeluk agama sehingga terjadi klaim-mengklaim dan saling merasa lebih dari yang lainnya. Pernyataan seperti itu sebenarnya tidak salah, hanya saja bila pernyataan itu dibarengi dengan aksi untuk mengalahkan dan merendahkah agama lain akan menimbulkan konflik, sehingga islam yang selama dijuluki dengan agama rahmat dan cintai damai hanya akan menjadi slogan belaka.
C. Menjadil muslim yang rahmatan lil'alamin
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa islam adalah agama pembawa rahmatan bagi seluruh alam. Ajarannya berlaku secara universal dan dapat dirasakan oleh setiap golongan, agama, suku, bangsa dan lain sebagainya. Nilai-nilai rahmat yang terdapat dalam islam tidak mungkin dapat direalisasikan kalau pemeluk agama tersebut tidak dapat melaksanakan dan menerapkan ajaran-ajaran islam itu sendiri dalam kehidupan nyata, artinya dalam kehidupan sosial.
Ke-rahmat-an islam akan lebih dapat dirasakan lagi, kalau pemeluknya mempunyai rasa toleransi yang tinggi antar pemeluk agama. Inilah yang dilakukan oleh rasulullah saw ketika hidup berdampingan bersama yahudi di madinah.
Perlu digarisbawahi bahwa toleransi hanya berlaku pada kemaslahatan umat, artinya pada permasalahan-permasalahan social dan untuk kepentingan bersama. Tetapi bila hal itu telah menyangkut masalah aqidah dan masalah tersebut tidak dikomromikan lagi, maka toleransi tidak berlaku lagi.
Selanjutnya, untuk menjadikan benar-benar menjadi rahmatan lil'alamin, pemeluknya harus masuk kedalamnya secara sempurna, islam bukan hanya sebagai identitas saja (islam KTP) tapi juga harus realisasikan dalam segala kehidupan.
Banyak orang islam yang radikal, fundamental, ekstrem dan lain sebagai disebabkan karena kurang mengerti akan ajaran islam itu secara sempurna. Kalau diamati lebih mendalam, maka kita akan mendapat betapa bagus dan sesuainya ajaran-ajaran islam bagi kehidupan manusia. Tidak sedikit para pendeta yang masuk agama islam karena pemahaman mereka yang objektif terhadap islam, sehingga mereka sadar dan mengerti kalau islam adalah agama yang paling sempurna, agama yang cinta kedamaian serta agama yang paling benar di sisi allah swt. Sebagaiman firman allah dalam al-qur'an yang berbunyi:
إن الدين عند الله الاسلام
Sesungguhnya agama yang paling benar di sisi allah adalah islam.
Ayat di atas menjelaskan bahwa tidak ada agama yang diterima oleh allah swt kecuali islam. Ayat tersebut tidak dapat dijadikan dalil untuk memaksa orang non muslim untuk memeluk agama islam. Karena tidak paksaan untuk memeluk agama islam. La ikroha fiddin.
Untuk menjadi muslim yang rahmatan lil'alamin, seorang muslim harus bisa menghargai perbedaan. perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan yang masih bisa ditoleran, yaitu perbedaan dalam masalah furu'iyyah bukan masalah ushuliyyah. Jika perbedaan furu'iyya dianggap sebagai rahmat bukan laknat, maka perselihan dalam tubuh umat islam itu dapat diminimalisir.
Perbedaan dalam tubuh umat islam itu sendiri selama terjadi karena masalah furu'iyyah. Masalah furu'iyyah selama ini sering menjadi pemicu perselihan antar umat islam, sehingga orang lain menganggap islam itu agama yang penuh dengan perselihan dan pertentangan. Untuk meminimalisir perbedaan itu dituntut setiap muslim bisa menyadari semua perbedaan itu selama masih dalam koridor furu'iyyah. Tetapi jika permasalahan itu dalam hal ushuliyyah maka, setiap muslim harus bersikap bijak dalam menyelesaikannya.
Terlepas dari itu semua, banyak orang menganggap bahwa islam tersebar dengan pedang, kekerasan dan pemaksaan. Anggapan itu tidak bisa disalahkan begitu saja, karena memang kenyataan begitu. tapi perlu diingat, bahwa islam dalam hal berperang mempunyai etika-etika yang mana etika-etika tersebut tidak bisa ditemukan dalam agama lain.
Perang yang dilakukan pada masa lalu bukan semata-mata untuk menyebarkan agama islam tetapi untuk stabilitas keamanan umat islam yang banyak menerima ancaman dan kekerasan dari kaum quraisy. Kita bisa menilik sejarah, di sana dapat ditemukan bahwa orang yang tidak mau memeluk agama islam dan tidak melakukan perlawanan tidak dibunuh melainkan hanya diminta pajak sebagai jaminan atas keamanan mereka. Karena kalau seandainya tujuan perang tersebut adalah untuk penyiaran agama islam semata, maka orang yang tidak mau memeluk agama islam akan dibunuh, tapi kenyataannya tidak.
Islam tidak pernah memaksakan aqidah kepada orang lain. Silakan saja mereka mengakui kebenaran agama mereka asal tidak mengganggu islam dan pemeluknya. Selama mereka tidak mengganggu keutuhan umat islam islam akan terus menebar rahmat tapi kalau diganggu islam tidak akan tinggal diam.
Umat islam boleh saja mengatakan agamanya yang paling benar dan paling diterima oleh allah, tetapi jangan memaksakannya untuk orang nonmuslim. Itulah indahnya ajaran islam, mengakui islam sebagai agama yang paling benar tetapi tidak memaksa orang lain untuk mengakui kebenarannya.
D. Kesimpulan
Ke-rahmat-an islam berlaku secara universal, bakan hanya untuk muslim tapi juga non muslim, bukan hanya manusia tapi juga binatang, bukan hanya laki-laki tapi untuk perempuan. Ringkasnya, islam menjadi rahmat bagi seluruh alam. Ke-rahmat-an islam ini bisa dirasakan dari segala aspek kehidupan, baik itu ekonomi, politik, social, budaya, hokum, dan lain sebagainya. Hanya saja umat islam tidak mau menerapkan semua aturan dan ajaran-ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menjadi muslim yang rahmatan lil'alamin, seorang muslim harus: menjadi umat yang moderat artinya tidak ekstrim, menjunjung tinggi sikap toleransi, memahami islam secara sempurna artinya bukan islam KTP, dan menghargai perbedaan dalam masalah furu'iyyah, serta masih banyak lagi hal-hal yang dapat dilakukan untuk menjadi muslim yang rahmatan lil'alamin.
Demikianlah beberapa hal yang mungkin dapat diterapkan dan dipahami oleh setiap muslim. Sehingga islam yang selama dijuluki sebagai agama yang rahmatan lil'alamin tidak hanya slogan belaka tapi benar-benar menjadi kenyataan.


ISLAM AGAMA TOLERANSI DAN CINTA DAMAI:
Telaah Atas Novel Ayat-Ayat Cinta

Oleh: Sahidi Mustafa

A. Pendahuluan
Dewasa ini, pecinta novel sudah bosan dengan suguhan novel-novel vulgar atau tulisan-tulisan yang berbau porno lainnya. Vulgarisme sekarang tidak lagi diminati. Di tengah kebosanan itu kemudian muncul novel-novel islami. Sebagian orang mengatakan, novel-novel tersebut tidaklah layak disebut sebagai novel, dengan berbagai alasan. Tujuan mereka tidak lain adalah untuk mendiskreditkan Islam. Tapi tuduhan itu ditanggapi sastrawan dan novelis muslim dengan menerbitkan novel-novel islami. Novel-novel tersebut mampu menangkis tuduhan-tuduhan yang selama ini ditujukan kepada Islam. Diantara novel tersebut adalah novel Ayat-Ayat Cinta.
Ayat-Ayat Cinta merupakan novel fenomenal yang telah menggemparkan beribu-ribu pembaca. Novel yang ditulis Habirurrahman El-Shirazy ini, mendapat sambutan luar biasa dari para pecinta novel dan sastra. Bukan hanya dari kalangan remaja saja, tapi dari semua kalangan, seperti tokoh Negara, seniman, tokoh agama, dan masyarakat luas.
Tidak banyak novel mendapat sambutan semeriah novel Ayat-Ayat Cinta. Ayat-Ayat Cinta bukan hanya sekadar novel biasa yang bercerita tentang suatu kisah atau kejadian. Akan tetapi novel ini sarat dengan pesan, sehingga pembaca tidak hanya mendapat atau mengetahui cerita atau kisah yang ditampilkan di da-lamnya, tetapi lebih dari itu, pembaca mendapat bermacam-macam pengetuhuan, mulai masalah bahasa, fikih, budaya, humaniora, akidah, sosial dan lain seba-gainya.
Pernyataan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, sesuai dengan pernyataan yang dilemparkan oleh para pembaca dan pecinta sastra, namun ada juga sebagian pembaca yang justru bertolak belakang dengan komentar-komentar bernada pujian yang ditujukan kepada novel Ayat-Ayat Cinta tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Khotimatul Husna pada harian Jawa Pos tanggal 20 April 2008 lalu, "kalau orang lain merasa hatinya gerimis (sejuk) setelah membaca dan menonton AAC, sebaliknya mata dan hati saya menangis untuk ketidak-beruntungan dan penderitaan yang menimpa tokoh perempuannya".
Berangkat dari latar belakang di atas, pengulas (sebutan untuk pengulas novel ini) tertarik untuk menyelami novel Ayat-Ayat Cinta ini lebih jauh lagi. Kalau sebelumnya pengulas hanya membaca secara sepintas tanpa menghayati lebih jauh pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Sekarang pengulas mencoba untuk menjelajahi Novel Ayat-Ayat cinta ini lebih jauh lagi, dengan memfokuskan pada aspek sastranya dan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.
Sistematika pengulasannya (pembahasannya) dimulai dengan mengulas aspek sastranya, kemudian selanjutnya pengulas membedah pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Ulasan tersebut diulas dengan merujuk kepada beberapa buku yang berkaitan dengan masalah tersebut. Akan tetapi perlu diketahui pengulas lebih fokus pada pembedahan atau pengulasan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.
B. Novel Penuh Makna
Ayat-Ayat Cinta bukan seperti novel pada umumnya, tetapi novel ini sarat dengan pesan, sehingga tidak berlebihan kalau dikatakan novel ini sebagai novel pembangun jiwa – meminjam istilah Ahmad Tohari ketika memberikan komentar terhadap novel ini.
Dengan novel pembangun jiwa ini, penulis (sebutan untuk penulis novel ini) mencoba berdakwah melalui tulisan (da'wah bi al-qolam), lebih spesifik lagi dengan sastra atau lebih sepesifik lagi dengan novel. Dakwah dengan novel, apalagi novelnya sekelas dengan novel Ayat-Ayat Cinta ini, menurut hemat pengulas, sangat efektif dan pesan yang disampaikan lebih tepat sasaran. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat Indonesia lebih senang membaca novel dari pada mendengarkan ceramah agama atau membaca dari buku-buku islami, apalagi buku-buku yang nota benenya berbahasa Arab.
Objek dakwah melalui novel juga lebih tepat sasaran, karena pembaca novel ini tentu saja orang yang bisa membaca dan berpendidikan serta orang-orang yang sibuk, yang pada umumnya mereka tidak begitu sering menghadiri pe-ngajian-pengajian keagamaan. Hal ini mungkin disebabkan karena kurang suka atau tidak punya waktu.
Ada beberapa hal menjadi kelebihan novel ini, di antarannya adalah: bahasa yang digunakan dalam novel sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang sudah disempurnakan (EYD). Dengan novel ini, penulis juga mengajak para pembaca untuk menpergunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang telah disempurkan. Sekarang banyak sekali karya tulis yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan benar.
Di samping itu juga, bahasa novel ini sangat sederhada sehingga mudah dipahami oleh siapa saja. Bahasanya tidak berbelit-belit dan tidak perlu penafsiran sebagaimana halnya karya sastra lainnya.
Tidak kalah menariknya juga, penulis mampu menggambarkan tempat (setting) kisah tersebut dengan baik, jelas, lengkap dan detail, sehingga pembaca dapat menghayati dan menggabarkan tempat tersebut. Bukan hanya itu, deskripsi tempat yang sangat jelas itu membuat para pembaca seolah-olah berperan aktif dalam kisah yang ditampilkan dalam Ayat-Ayat Cinta ini.
Membaca novel ini, seolah-olah pembaca dapat merasakan indahnya Mesir dengan sungai nilnya. Karena dalam novel ini keadaan Mesir begitu jelas digambarkan, mulai dari nama tempat, budaya, cuaca, dan bahasa. Bahasa ammiyah yang cantumkan dalam novel ini, menjadikan kisah yang ditampilkan novel ini seperti benar-benar terjadi. Pernyataan ini sesuai dengan pernyataan Ahmadun Yosi Herfanda, sastrawan dan redaktur Budaya Republika.
Di samping itu juga, tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam novel ini begitu hidup. Hal ini disebabkan karena penulis tidak menggunakan bahasa orang ketiga dalam menceritakan kisah demi kisah. Tetapi penulis menggunakan orang pertama, sehingga seolah-olah penulis tidak berperan dalam tulisan ini. Inilah yang membuat tokoh-tokoh dalam novel begitu hidup dan ceritanya juga seperti benar-benar terjadi.
Ada satu hal yang tidak kalah menariknya juga, dalam novel ini penulis menghindari menggunakan bahasa vulgar hatta dalam cerita bulan madupun dan malam zafaf. Kisah-kisahnya juga sangat baik dan penuh dengan hikmah, motivasi dan pesan-pesan serta masih banyak nilai-nilai positif lainnya yang terkandung dalam setiap paragraf novel ini.
Selanjutnya, Penulis berusaha menampilkan pesan-pesan positif hampir dalam setiap paragraf. Pesan-pesan tersebut dibungkus dengan cerita romantis, kisah cinta dan perjalanan kehidupan yang indah dan penuh pengalaman, dengan tujuan untuk membangun jiwa dengan nilai-nilai Islam. Sungguh sangat sulit menemukan novel yang sekelas dengan novel Ayat-Ayat Cinta ini.
Walaupun banyak terdapat kelebihan dalam novel ini namun itu semua tidak berarti novel ini luput dari kesalahan dan kekurangan. Karena tidak mungkin karya manusia luput dari kekurangan dan kesalahan. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Khotimatul Husna dalam harian Jawa Pos. Menurutnya ada beberapa hal yang kontradiktif dengan apa yang diidealkan penulis dengan alur ceritanya. Sebagai contoh Nurul. Nurul digambarkar dalam novel ini degan sosok yang sangat mandiri, aktivis, cerdas, shalihah, suka menolong dan baik hati. Namun pada akhirnya Nurul digambarkan sebagai orang tidak punya cahaya, putus asa dan memadang hidup ini tanpa arti, karena cintanya sama Fahri tidak kesampaian.
Selanjutnya dalam kisah Noura. Noura digambar sebagai sosok yang teraniaya, membutuhkan pertolongan dan semua orang iba melihat keadaannya. Noura juga digambarkan sebagai mahasiswi al-Azhar. Sudah pasti di sana dia diajari hal-hal yang baik. Namun pada akhirnya Noura memfitnah Fahri dengan begitu kejamnya.
Sekilas, apa yang disampaikan Khatimatul Husna ada benarnya. Memang benar, keadaan seperti itu kurang logis, tapi mungkin penulis ingin menyampaikan, bahwa banyak orang yang terjerumus karena cinta. Cinta sering melupakan seseorang, bahwa cinta kepada makhluk itu tidak kekal. Cinta juga sering membuat orang bertindak tidak logis, seperti halnya yang terjadi pada kisah Nurul. Memang kalau dilihat dari segi alur ceritanya agak kurang logis namun pengulas lebih memandangnya dari pesan yang tersirat dalam kisah tersebut. Begitupun dengan kisah Noura. Kalau diperhatikan secara sepintas memang agak kurang logis. Bagaimana mungkin orang yang sudah ditolong memfitnah orang yang menolongnya. Lagi-lagi pengulas melihat dari pesan yang tersirat dalam kisah tersebut, bukan dari alurnya. Seolah-olah penulis ingin menyampaikan, bahwasanya cinta bisa membuat orang bertindak tanpa memperhatikan akal budinya, berbuat tanpa memikirkan akibatnya, nekat dan lain sebagainya. Intinya, cinta yang berlebihan dapat membuat orang kehilangan kontrol diri. Maka hati-hatilah dengan cinta.
Sebenarnya kalau diperhatikan secara seksama, alur cerita tersebut tidaklah kontradiktif antara apa yang idealkan oleh penulis. Hanya saja "mungkin" ada kesalahan dalam memahami apa yang diidealkan penulis. Menurut pengulas, apa yang diidealkan penulis sama seperti apa yang telah pengulas jelaskan sebelumnya dan tidak ada kontradiktif antara alur dan yang didealkan penulis. Perbedaan penafsiran terhadap novel tersebut "mungkin" merupakan salah bentuk kekurangannya. Tetapi menurut pengulas, hal tersebut tidak akan mengurangi kualitas novel ini.
C. Pesan-pesan yang Terkadung dalam Novel Ayat-Ayat Cinta
1. Toleransi
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa novel ini sarat dengan pesan-pesan. Pesan-pesan tersebut hampir ada dari seluruh aspek kehidupan, mulai dari masalah fikih, akidah, sosial, budaya, politik dan lain-lain. Namun pesan yang paling menonjol adalah anjuran untuk membumikan toleransi. Toleransi merupakan keniscayaan dalam konteks pluralisme. Sudah menjadi sunnatullah, bahwa alam ini diciptakan beranekaragam. Eksistensi Keanekaragaman itu akan menjadi nihil jika masing-masing individu tidak menanamkan rasa toleransi dalam diri masing-masing.
Agama kita menganjurkan umatnya untuk toleransi, saling mengahargai, tolong-menolong dan kasih-mengasihi. Bahkan sikap toleransi sudah pernah diperaktekkan Nabi ketika beliau hidup berdampingan dengan Yahudi dan Nasrani di Madinah (Misrawi, 2007: 224).
Namun ruh toleransi dewasa ini sangat sulit ditemukan dalam realitas sosial. Bahkan masyakat cenderung ekstrim, fundamental, sadis, eksklusif dan masih lagi sikap negatif lainnya. Sikap-sikap tersebut membuat manusia memandang kelompok lain dengan sebelah mata, sinis dan penuh rasa curiga. Lebih parahnya lagi, sebagian kelompok menganggap kelompok lain dengan musuh yang harus dilenyapkan.
Menurut Misrawi (2007: 224), ada dua faktor utama penyebab timbulnya sikap intoleran yaitu: pertama, faktor internal, yaitu pemahaman keagamaan yang dangkal, sempit dan picik. Karena sesungguhnya setiap agama mengajarkan kedamaian, apalagi Islam sebagai agama rahmatan lil'alamin. Ketidaktahuan tersebut menyebabkan sebagian muslim bersikap keras terhadap agama lain.
Kedua, faktor eksternal, yaitu ketidakadilan sosial dan ketidakadilan global. Keadaan ini melahirkan fundamentalisme yang berupaya menyaingi dan beradaptasi dengan situasi global.
Realita intoleran ini tidak sepantasnya ada pada diri seorang muslim yang sejati. Seorang muslim harus mampu membuktikan ajaran Islam yang penuh dengan cinta, kasih sayang, dan kedamaian. Sehingga, dengan demikian sebutan rahmatan lil'alamin bukan hanya sebagai slogan belaka, tetapi benar-benar terealisasikan dalam kehidupan bersosial.
Pesan inilah sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Habiburrahman dalam novel ini. Sebagai bukti, dalam novel ini, dari awal sampai akhir, diceritakan bahwa Fahri hidup berdampingan dengan keluarga Kristen koptik. Kehidupan Fahri dan teman-temannya dengan keluarga Kristen koptik tersebut sangat rukun, damai dan penuh kasih sayang, khususnya Fahri dan Maria. Dalam novel Ayat-Ayat Cinta ini juga dijelaskan mereka sudah seperti keluarga.
Walaupun kehidupan Fahri dan teman-temannya dengan Maria dan keluarganya sangat rukun, namun kedua keluarga tersebut (keluarga Maria dan Fahri) sangat hati-hati dalam masalah akidah. Mereka tidak pernah memaksakan akidah masing-masing. Itulah cerminan toleransi yang sebenarnya. Toleransi bukanlah pembenaran semua agama, tetapi pengakuan akan realitas yang plural.
Dari awal sampai akhir, novel ini menceritakan kehidupan antar agama yang rukun, yaitu kisah kehidupan Fahri dan Maria . Ini membuktikan, bahwa penulis sebenarnya ingin menyampaikan pesan kepada para pembaca untuk menanamkan sikap toleransi dalam kehidupan bersosial. Namun yang perlu digarisbahawi adalah, bahwa toleransi yang ditampilkan dalam novel ini hanya pada masalah sosial saja bukan masalah akidah.
Jadi, sebenarnya penulis ingin menyampaikan kepada para pembaca untuk membatasi toleransi itu hanya pada masalah-masalah sosial saja, bukan masalah akidah, kalau sudah menyangkut masalah akidah kita harus bersikap tegas. Lakum dinukum waliyadin.
Sikap toleransi, lebih jelas lagi, digambarkan dalam kisah pertemuan Fahri dengan Aisha di dalam metro, yaitu pada bagian ketiga (kejadian di dalam metro) (hlm. 37). Dalam kisah tersebut dijelaskan bahwa orang mesir memaki-maki tiga orang Amerika. Ketiga orang Amerika itu tidak mendapatkan tempat duduk, kemudian perempuan bercadar bangun dari tempat duduknya dan mempersilakan salah satu bule Amerika yang sudah tua renta untuk duduk. Tindakannya tersebut mendapat cacian dari orang Mesir. Kemudian Fahri tampil membela perempuan bercadar itu. Dengan menenangkan para penumpang dan meluruskan tindakan mereka terhadap tiga orang Amerika itu.
Dalam kisah tersebut, Fahri menjelaskan bahwa orang kafir yang masuk ke sebuah Negara muslim dengan legal, maka semua hak-haknya harus dilindungi dan, kehormatannya juga harus dijaga, bahkan hak-hak mereka sama dengan hak-hak muslim.
Kejadian di dalam metro itu (hlm. 37 ) menyuruh para pembaca untuk menghormati orang kafir (kafir dzimmi) yang berada dalam Negara muslim, selama mereka membayar jizyah dan tidak membuat kekacauan.
Kejadian di dalam metro itu membuat kita teringat dengan beberapa tindakan intoleran yang dilakukan oleh kaum fundamentalis terhadap non muslim yang berada dalam Negara muslim, seperti Bom Bali dan lain sebagainya. Tindakan seperti itu sungguh sangat disayangkan karena perbuatan tersebut mengatasnamakan agama Islam yang hanif, padahal kalau ditelusuri lebih jauh, Islam tidak pernah menyuruh berbuat seperti itu. Lagi-lagi tindakan tersebut dilakukan atas kekurangtahuan mereka tentang Islam yang hakiki.
2. Menghargai Wanita
Selain anjuran untuk toleransi, pesan lain yang dimuat dalam novel ini adalah anjuran untuk menghargai wanita. Pesan ini sekaligus kritikan atas dunia barat yang senantiasa menganggap Islam merendahkan derajat wanita. Dengan novel ini Habiburrahman menepis semua tuduhan itu, penulis ingin menyampaikan kalau Islam itu sangat mengahargai wanita. Dalam Islam, Tuhan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, antara kaya dan miskin, antara kuat dan lemah, dan lain sebagainya (al-Qur'an surat: al-hujarat: 13). Yang menjadi perbedaan di mata Islam hanyalah ketakwaan (Shihab, 2002: 261)
Berkembangannya opini yang mendiskreditkan Islam tidak lepas dari ketidaktahuan barat tentang Islam yang sesungguhnya dan tindakan muslim yang tidak sesuai dengan Islam. Seperti halnya ketika al-Qur'an menyuruh suami memukul istri (an-Nisa': 34). Perintah memukul bukan untuk semua istri, tapi hanya untuk istri yang nusyuz. Nusyuz adalah istri yang tidak lagi menghormati, mencintai, menjaga dan memuliakan suami (hlm. 97).
Perlu diketahui, perintah memukul istri, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur'an, mempunyai kriteria-kriteria tertentu. Namun, ini sering tidak dipahami, sehingga muncul anggapan bahwa Islam kejam dan sadis. Padahal Islam memberikan tuntunan bagaimana menyikapi istri yang nusyuz.
Langkah pertama yang harus dilakukan suami terhadap istri nusyuz adalah menasihati. Kedua, pisah ranjang (tempat tidur). Dan yang terkahir - setelah melalui dua cara di atas – memukul istri. Walaupun al-Qur'an menyuruh suami memukul istri, tapi tidak boleh sembarangan. Suami baru boleh memukul dengan beberapa syarat: pertama, setelah menggunakan kedua cara di atas (nasihat dan pisah ranjang). Kedua, tidak boleh memukul muka, dan yang terakhir tidak boleh menyakitkan, membekas, tidak sampai membuat tulang retak dan tidak di bagian yang berbahaya (hlm. 97-99). Menurut Shihab (2002: 430-431), memukul istri jangan dipahami untuk menyakiti atau sesuatu yang terpuji.
Semua persyaratan di atas harus diperhatikan dengan seksama, supaya tidak tidak ada anggapan bahwa Islam adalah agama kejam, sadis, dan tidak memperhatikan hak asasi manusia.
Masih ada lagi kesan miring dari dunia barat terhadap Islam, yaitu masalah poligami. Masalah poligami sebagaimana diceritakan dalam novel ini, menurut dunia barat dan kaum pejuang emansipasi wanita, merendahkan dan menghina derajat perempuan. Islam memang membolehkan poligami tetapi tidak mewajibkan. Ayat yang menjelaskan poligami, tidaklah dipahami sebagai perintah yang wajib dilaksanakan, karena kata perintah (f'i'il al-Amr) dalam ayat tersebut bukan untuk mewajibkan, melainkan hanya sebagai pembolehan saja (Shihab, 2002: 341-342). Kalau ayat tersebut dipahami sebagai perintah yang wajib dilakukan, maka semua sahabat dan para ulama akan berploligami.
Poligami dalam Islam memang dibolehkan, selama suami mampu ber-laku adil dan mampu dalam hal materi (harta) dan mampu memenuhi kebutuhan seks istri. Selain itu, jika sebelum akad dilaksanakan, istri meminta syarat untuk tidak dipoligami, maka suami tidak boleh berpoligami kecuali mendapat izin dari istri (al-Jauzy, 2003: 68).
Pembaca bisa melihat bagaimana proses Fahri berpoligami, dia tidak mau berpoligami kecuali setelah mendapat izin dari istrinya (Aisha). Karena sebelum melangsungkan akad, Aisha meminta syarat kepada Fahri untuk menjadikannya istri satu-satunya (tidak menduakannya). Tapi mengapa pada akhirnya Fahri menduakannya?
Pertanyaan tersebut mungkin muncul dari pembaca. Perlu diketahui bahwa Fahri poligami setelah mendapat izin dari Aisha dan demi menyelamatkan nyawa Maria.
Dari kisah tersebut, penulis berpesan kepada para pembaca supaya poligami tidak dilakukan karena hawa nafsu. Realitanya, orang banyak berpoligami karena tuntutan hawa nafsu, kemudian mengabaikan hak-hak istri pertamanya. Praktek poligami seperti ini menumbuhkan kesan tidak baik, sehingga orang barat menganggap praktek poligami merendahkan derajat perempuan. Padahal pada hakikatnya, poligami bukanlah seperti anggapan mereka. Poligami bertujuan mulia, tidak untuk menyakiti perempuan (istri yang lainnya). Tetapi poligami dalam Islam untuk melindungi perempuan.
Kalau kita membuka kembali lembaran sejarah masa lalu, Nabi berpoligami bukan untuk memenuhi hawa nafsunya tetapi untuk berdakwah menyebarkan Islam. Perlu ditegaskan lagi, bahwa poligami dalam Islam bertujuan mulia. Kalau ada orang berpoligami tidak sesuai dengan tuntunan sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, maka jangan Islam yang disalahkan tapi yang salahkanlah pelaku poligaminya.
3. Kritik Sosial dan Politik
Selain dua pesan di atas, masih ada lagi pesan lain yang ingin disampaikan penulis melalui novel ini, yaitu kritikan terhadap pemerintahan Indonesia. Sebagaimana yang dijelaskan dalam novel ini bahwa kekuatan Indonesia di luar negeri sangat lemah. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus penindasan yang dialami Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri. Melalui novel ini, penulis ingin menyampaikan kepada pemerintah Indonesia supaya melindungi Tenaga Kerja Wanita (TKW) atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Di antara penyebab terjadinya penindasan terhadap TKW adalah kurangnya wibawa dan martabat pemerintahan Indonesia di mata internasional. Akibatnya mereka berbuat semena-mena terhadap TKW tanpa ada proses hukum yang setimpal.
Selain mengkritik pemerintahan Indonesia, penulis novel ini juga mengkritik pemerintahan Mesir yang berbuat semena-mena terhadap orang asing khusunya Indonesia. Begitu juga dengan buruknya proses penegakan hukum, terutama penegakan hukum bagi Negara lemah di mata internasional, seperti Indonesia.
Sebenarnya kalau kita telusuri lebih jauh, sungguh sangat banyak pesan positif yang terkandung dalam novel ini. Tetapi pengulas tidak bisa menjelaskannya dalam tulisan ini secara terperinci.
D. Kesimpulan
Dari ulasan di atas, pengulas berkesimpulan bahwa novel ayat-ayat cinta merupakan novel yang sarat dengan pesan positif yang dapat membangun jiwa yang sedang pudar. Novel ini laksana pelita yang menerangi kegelapan malam,bagaikan bulan purnama menghiasi malam. Membaca novel ini seolah-seolah menyelami samudera ilmu, yang mana setelah membacanya, pembaca akan mendapatkan harta yang tiada terkira yaitu ilmu pengetahuan.
di antara kesimpulan yang dapat pengulas berikan adalah sebagai berikut:
1. Novel ini merupakan novel yang tidak hanya berisi kisah-kisah atau cerita-cerita saja, melainkan novel juga berbicara mengenai berbagai macam disiplin ilmu yang sangat berharga.
2. Yang membuat novel ini menarik adalah bahasa yang digunakan di dalamnya sangat sederhana, mudah dipahami oleh semua golangan dan tidak teerhindar dari bahasa vulgar hatta dalam masalah percintaan sekalipun. Susunan bahasanya sangat indah, sehingga menimbulkan kesan tersendiri bagi para pembacanya.
3. Kisah yang diceritakan dalam novel ini islami, tarbawi, dan penuh dengan motivasi. Keindahan kisahnya membuat air mata mengalir. Novel ini mampu menghipnotis seluruh pembaca dengan kisah yang penuh makna.
4. Pesan yang disampaikan dalam novel ini sangat kompleks, namun yang menjadi pesan sentral menurut pengulas adalah anjuran untuk hidup damai dengan non muslim dengan cara menanamkan sikap toleransi dan menghargai wanita. Dua pesan tersebut hampir ditampilkan dalam setiap kisah yang diceritakan dalam novel ini. Di samping itu juga novel ini memuat pesan-pesan positif lainnya, seperti anjuran untuk sabar, tekun, istiqomah dan masih banyak lagi yang lainnya.
Demikianlah beberapa pesan yang dapat dipetik dari novel fenomenal ini. Sebagai pesan terakhir, "cintailah seorang tidak melebihi cintamu kepada pencipta rasa cinta itu sendiri, hati-hati dengan cinta yang tidak bermuara kepada pencipta alam semesta, karena ia akan menjerumuskanmu ke jurang kenistaan".
Semoga dengan membaca novel ini, hati para pembaca gerimis (sejuk) dan berimplikasi bagi perkembangan jiwa. Jadikanlah hikmah-hikmah yang terdapat dalam novel ini sebagai pelajaran (i'tibar) untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-sehari.
Bagi para penggemar novel, bacalah novel-novel yang bernafas Islam, seperti novel ayat-ayat cinta ini atau novel-novel lain yang sealiran dengannya. Jauhilah novel novel-novel porno karena itu akan merusak kerja pikiran kita.
Wa Allah A'lam bi ash-Shawab















[1] 50 hasehat rasulullah saw untuk generasi muda, Muhammad ali quthb, al-bayan, bandung ,2002

KEMAHASISWAAN

KEMOROSOTAN TRADISI ILMIAH
(Sebuah Refleksi Tentang IDIA Prenduan)
Oleh: Sayyidi Musthafa

Lembaga Perguruan Tinggi, di manapun dan apapun bentuk Perguruan Tingginya, semua elemen di dalamnya dituntut untuk hidup dalam tradisi ilmiah. Orang tidak akan mengakui kita, kalau kita tidak mentaati aturan-aturan ilmiah yang telah berlaku secara umum. Tradisi ilmiah dalam Perguruan Tinggi seharusnya menjadi ruh dalam setiap perbuatan dan kegiatan.
Di samping itu, semua elemen Perguruan Tinggi, khususnya mahasiswa dan dosen seharusnya terbiasa dengan kegiatan tulis-menulis. Kegiatan tulis-menulis ini sangat urgen bagi ilmuan dan calon ilmuan (dosen dan mahasiwa). Karena kalau kita tidak mempunyai karya tulis, maka ilmu dan pengetahuan yang kita miliki tidak dapat diakses oleh orang lain, kecuali orang-orang yang kita ajari dan orang-orang yang bergaul dengan kita. Dan itupun ruang lingkupnya sangat sempit.
Kalau kita berkaca kepada sejarah zaman keemasan Islam, di mana tradisi ilmiah terutama dalam hal tulis-menulis sangat dijunjung tinggi oleh ulama kita. Kita mengenal pemikiran mereka dari karya tulisnya. Kita bisa bayangkan, seandainya ulama terdahulu—seperti Imam syafi'i, Ibnu Hajar, Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd dan masih banyak lagi yang lainnya—tidak membiasakan budaya tulis-menulis, niscaya kita tidak akan tahu bagaimana kemahiran mereka dalam ilmu keislaman.
Sebenarnya tradisi ilmiah khususnya dalam bidang tulis-menulis, bukan hanya berlaku untuk Perguruan Tinggi semata tetapi seharusnya tradisi tulis-menulis itu harus menajadi kebiasaan santri, kiai dan ilmuan muslim. Karena tradisi tulis-menulis ini adalah warisan (al-turats) ulama terdahulu (al-salaf al-shalih) yang harus kita jaga dan kita lestarikan. Hal ini sesuai dengan falsafah yang populer di lingkungan pondok pesantren "al-Muhafadhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah".
Realita yang kita lihat sekarang ini, mahasiswa muslim khususnya mahasiswa IDIA Prenduan dan lebih khusus lagi santri dan para kiai yang terhormat, tidak lagi mengindahkan falsafah tersebut. Kiai sekarang ini hanya bisa mengajar, berceramah dan meberikan tausyiah, tetapi mereka krisis karya tulis. Memang ada segelintir kiai yang produktif tetapi itu hanyalah pengecualian—saya mohon maaf kepada mereka yang produktif. Kita bisa hitung berapa banyak kiai yang ada di Indonesia. Tidak usah terlalu jauh, kita bisa hitung berapa banyak kiai yang ada di pondok kita ini, tetapi berapa banyak dari mereka yang aktif dan produktif menulis. Dan bukan hanya para kiai kita yang krisis tradisi tulis-menulis tetapi juga dosen-dosen kita yang seharusnya menularkan tradisi tulis-menulis kepada mahasiswa, ternyata krisis tradisi tersebut. Sungguh sangat kita sayangkan lembaga kita ini tidak bisa melestarikan warisan (al-turats) ulama kita terdahulu khususnya dalam tradisi tulis-menulis.
Yang menjadi pertanyaan kita sekarang adalah, "mengapa para kiai tidak produktif?" sebuah pertanyaan yang masih tabu di lingkungan pondok pesantren— tapi saya yakin Al-Amien tidak termasuk bagian tersebut. Pertanyaan ini muncul dari kegelisahan yang selama ini meliputi penulis. Dan penulis mohon maaf kalau pertanyaan tersebut membuat pihak yang bersangkutan tersinggung. Kemudian saya memohon kepada Allah Swt. Yang Maha Tahu segala-galanya supaya pertanyaan tersebut tidak menjadikan ilmu yang telah mereka berikan, menjadi ilmu yang tidak bermanfaat dan barokah.
Kembali kepertanyaan di atas, "mengapa para kiai tidak produktif?". Dari pertanyaan tersebut akan muncul bermacam-macam jawaban sesuai dengan sudut pandang penjawabnya. Muculnya pertanyaan tersebut bisa saja disebabkan oleh antara lain: pertama, para kiai terlalu sibuk mengurus santri. Kalau kesibukan dijadikan sebagai alasan, maka semua orang punya kesibukan masing-masing. Menurut penulis, kalau seandainya kita punya tradisi tulis-menulis yang baik, maka sesibuk apapun kita, kita akan berusaha meluangkan waktu untuk menulis. Bukankah tulis-menulis juga merupakan bagian dari ibadah? Kalau seandainya ulama (kiai) kita sadar akan hal itu maka krisis tulis-menulis tidak akan pernah terjadi. Sebenarnya mereka (ulama, ustadz dan kiai) semua tahu akan hal itu tetapi mereka…?
Kedua, para kiai kita—semoga Allah Swt. memberikan rahmat kepada mereka –mungkin tidak membiasakan diri hidup dengan tradisi tulis-menulis. Sehingga keahlian dan ilmu yang bergudang-gudang dalam kepala mereka hanya bisa kita akses secara langsung dan itupun oleh orang yang tertentu saja. Pernyataan yang kedua ini, menurut penulis lebih tepat. Bisa saja kurangnya kesadaran ilmiah itu disebabkan oleh lingkungan yang membentuk mereka. Lingkungan yang dimaksud adalah tempat mereka menuntut ilmu. Tentu saja tempat tersebut adalah pesantren. Karena yang mencetak para kiai (bukan kiai keturunan) adalah pesantren.
Pertanyaan berikutnya adalah mengapa pesantren tidak bisa mencetak kiai yang gemar tulis-menulis? Adakah yang salah dengan pesantren? Kalau dilihat sekilas, memang jarang sekali pesantren yang mengajarkan tradisi tulis-menulis ini. Sehingga santri yang kemudian menjadi kiai—walaupun tidak semuanya—tidak produktif dan mereka hanya bisa berbicara dan tidak bisa menulis.
Realita tersebut sungguh sangat kita sayangkan, karena pesantren yang seharusnya menjadi tempat untuk melestarikan tradisi ulama kita terdahulu (al-salaf al-shalih) justru tidak bisa melestarikan tradisi tulis-menulis yang sangat berharga itu. Realita tersebut membuat para kiai tidak dikenal oleh orang lain dan kemudian setelah mereka meniggalkan dunia ini, kita tidak bisa lagi mengakses lagi ilmu-ilmu mereka. Coba saja kalau seandainya mereka punya karya-karya hasil pemikiran mereka, otomatis pemikiran mereka akan terus hidup dan akan selalu dipelajari sampai akhir masa walaupun mereka telah tiada. Dan insya-Allah karya tersebut akan menjadi ilmu nafi' yang pahalanya terus-menerus mengalir.
Sebagai harapan dari penulis, ayolah para kiai yang terhormat tuangkanlah ilmu-ilmu yang engkau miliki itu dalam bentuk tulisan sehingga kami bisa mengakses pemikiranmu walaupun engkau telah tiada.
Wa Allah A'lam bi al-Shawab.

MENJADI MAHASISWA YANG IDEAL
Mahsiswa adalah agent of changes. Idealnya mahasiswa bisa melakukan perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Disamping itu juga mahasiswa juga dituntut untuk bisa memberdayakan masyarakat sekitarnya sebagai implementasi dari tri darma perguruan tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat.
Tapi realitanya, tidak sedikit mahasiswa setelah menyelesaikan studinya di perguruan tinggi tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Yang lebih menyakitkan lagi, sebagian mahasiswa yang telah menyelesaikan studinya di perguruan tinggi dan setelah menyandang gelar sarjana, tidak berbeda dengan masyarakat yang notabenya tidak pernah mengenyam pendidikan.
Realita tersebut tidak bisa dipungkiri. Anda mungkin banyak melihat banyak sarjan yang menjalani profesinya sebagai tukang becak, kuli, tukang ojek dan lain sebagainya. Melihat melihat fenomena tersebut, sebagian masyarakat ragu dengan perguruan tinggi. Mereka takut anak mereka tidak bisa berbuat apa-apa setelah menyandang gelar sarjana, sehingga gelar yang ia sandang menjadi beban yang tiada terpikul.
Sebagian orang salah dalam memandang perguruan tinggi. Mereka menganggap perguruan tinggi sebagai tempat yang bertujuan untuk memudahkan mendapatkan pekerjaan. Padahal perkerjaan tinggi bukanlah tempat seperti yang mereka bayangkan. Kesalahan persepsi itu, membuat sebagian mahasiswa kuliah untuk mendapatkan gelar sarjana semata yang dijustifikasi dengan selembar izajah. Bukan hanya itu, kesalahan persepsi itu juga membuat sebagian mahasiswa kuliah hanya untuk berpoya-poya, tren, pamer dan lain sebagainya. Sehingga keluar dari perguruan hanya menambah bilangan pengguran. Sehingga tidak jarang sarjana jadi tukang becak, tukang ojek, kuli, tukang semer sepatu dan lain sebaginya.
Sejatinya, kita berpandangan bahwa kulian bukanlah untuk mencari pekerjaan atau hanya sekedar mendapatkan gelar yang disahkah dengan selembar ijazah. Tetapi kuliah untuk mencari ilmu semata dengan niat ibadah. Sehingga dengan ilmu tersebut kita dapat membantu masyarakat awam, kita mampu menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintaha dan mampu melakukah perubahan kearah yang lebih baik.
Kalau pandangan dibangun sedemikian rupa, maka gelar menjadi nomor sekian, apalagi ijazah, hanya selembar kertas. Tipologi mahasiswa seperti ini, biasanya orangnya kritis, ilmiah, liberal dan ideal. Tipologi inilah yang hanya layak disebut sebagai mahasiswa dan sarjana.
Mungkin bisa diringkas tipologi mahasiswa menjadi tiga: pertama, mahasiswa yang kulian hanya untuk mendapatkan gelar. Mahasiswa seperti ini biasanya sering bolos, malas, tidak punya orientasi yang jelas, ngaur dan hedonis.
Kedua, mahasiswa yang kuliah untuk kerja. Mahasiswa dengan tipologi seperti ini lebih baik dari tipologi pertama. Tipologi ini biasanya orangnya agak rajin kuliah, suka cari perhatian dosen, ingin cepat lulus, ingin punya nilai bagus, intanisme dan setelah bisa kerja (PNS)
Ketiga, mahasiswa yang kuliah hanya semata-mata untuk mencari ilmu. Mahasiswa seperti ini biasanya rajin, kritis, idealis, rajin, mengikuti kegiatan kemahasiswaan atau keorganisasian, kutu buku, gelar bukan tujuan apalagi ijazah.
Tipologi ketiga adalah tipologi yang ideal. Dan biasanya tipologi yang ketiga ini lebih banyak yang sukses. Dan tidak bingun setelah kembali ke masyarakat. Tipologi yang manakah kita? Anda lebih tahu jawabannya.
Wa Allah A'lam bi al-Shawab

SUNNATULLAH

SUNNATULLAH MENURUT AL-QUR'AN:
Telaah Atas Penafsiran Quraish Shihab Tentang Sunnatullah
Oleh: Sayyidi Musthafa

A. Pendahuluan
Allah SWT menjadi langit dan bumi beserta isinya. Di langit ada bintang-bintang, mentari, dan mahkluk angkasa lainnya. Di bumi Allah SWT menciptakan lautan, gunung, binatang, manusia, dan lain sebagainya. Semua ciptaan Allah tersebut hidup dalam keteraturan, keharmonisan dan keserasian.
Coba lihat perputaran matahari, planet dan bulan, mereka tetap berjalan pada porosnya. Tidak berbenturan satu sama lainnya. Seandainya semua itu tidak ada yang mengaturnya tentu akan hancur, dan bumi pun juga akan musnah. Tetapi semua tidak terjadi. Coba bayangkan seandainya dibumi tidak ada malam, niscaya daerah kutup akan mencair, volume lautan meningkat dan lain sebagainya. Seandainya bumi terus-menrus dalam keadaan malam, sinar mentari tidak ada, suhu bumi berada pada posisi nol derajat celsius sudah dapat dipastikan dunia akan beku. Dan begitu seterusnya.
Begitupun dengan kehidupan sosial, penuh dengan keharmonisan dan keteraturan. Ada kaya, ada miskin, ada kuat ada lemah. Dan lain sebagainya. Bias dibayangkan seandainya manusia ssemua kaya, pasti tidak ada yang mau jadi tukang becak, tidak ada tukang cuci, tidak ada angkot dan lain sebagainya. Kehidupan tidak akan indah dan harmonis. Kaya tidak ada artinya, kuat tidak bermakna. Adanya kaya, miskin, kuat, lemah, sehat, sakit, tinggi pendek, pintar, bodoh, gelap, terang, baik, buruk, air mengalir dari tempat tinggi ketempat rendah dan seterusnya merupakan ketetapan Allah yang berlaku sepanjang masa pada kehidupan kemasyarakatan. Ketetapan itu disebut dengan hukum-hukum alam, hukum kemasyarakatan atau sunnatullah. Ketetapan itu tidak berubah dan beralih sebagaimana yang disinyalir dalam banyak ayat al-Qur'an.
ولن تجد لسنة الله تبديلا
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis memokuskan pembahasan singkat ini pada, apa itu sunnatullah menurut Quraish Shihab? bagaimana pandangan Quraish Shihab tentang sunnatullah? Untuk mendapatkan jawaban permasalah ini, penulis mengkaji tafsir al-mishbah karangan Quraish Shihab tentang ayat-ayat sunnatullah dan beberapa bukunya yang lain serta buku karangan orang lain yang relevan dengan masalah tersebut.
B. Sunnatullah Menurut Al-Qur'an
1. Pengertian sunnatullah
Sunnatullah terdiri dua suku kata, yaitu sunnah dan Allah. Sunnah dian-tara artinya adalah kebiasaan. Jadi sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan atau ketetapan-ketetapan Allah dalam memperlakukan masyarakat. Kata sunnatullah dan yang sejenisnya seperti sunnatuna, sunnatu al-awwalin terulang sebanyak tiga belas kali dalam al-Qur'an. Jika dipukulratakan secara statistik, semua kata tersebut berbicara dalam konteks kemasyarakatan.[1]
Sunnatullah atau disebut juga dengan hukum alam, hukum kemasyarakat-an, atau ketetapan-ketetapan Allah menyangkut situasi kemasyarakatan, tidak da-pat dialihkan dan diubah oleh siapapun.[2] Sunnatullah ini sudah berlaku juga umat-umat sebelum umat Nabi Muhammad SAW[3] dan berlaku secara umum serta terus-menerus terjadi.[4] Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur'an yang berbunyi
... فهل ينظرون إلا سنت الله الأولين فلن تجد لسنة الله تبديلا ولن تجد لسنة الله تحويلا.
Artinya: …tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunah Allah, sekali-kali kamu tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunah Allah itu.[5]
سنة الله التي قد خلت من قبل ولن تجد لسنة الله تبديلا
Artinya: sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.[6]
Sebenarnya masih banyak lagi ayat al-Qur'an yang membahas masalah ini. Dan semua ayat tersebut berbicara dalam konteks kemasyaratan.
Al-Qur'an merupakan kitab pertama kali yang membicarakan tentang hukum alam (sunnatullah).[7] Dulu hukum ini tidak populer dan tidak diketahui masyarakat. Barulah al-Qur'an tampil menjelaskan hukum ini, yaitu sunnatullah atau hukum kemasyarakatan. Bahwa disamping ajal perorangan (individu) ada juga ajal bagi masyarakat, begitulah kata Quraish Shihab.[8]
Segala sesuatu lanjut Quraish Shihab, ada kadar dan sebabnya, maka usia dan runtuhnya suatu sistem dalam masyakat pasti ada juga kadar dan ada pula penyebabnya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur'an.
وإن كادوا ليستفزونك من الأرض ليخرجوك منها وإذا لايابثون خلافك إلا قليلا. سنة من قد أرسلنا قبلك من رسلنا ولا تجد لسنتنا تحويلا.
Artinya: dan sesungguhnya benar-benar mereka hampirmembuatmu gelisah di negeri (mekah) untuk mengusirmu darinya dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tinngal, melainkan sebentar saja. (kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul kami yang kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati peubahan bagi ketetapan kami itu.[9]
Ayat tersebut diatas menjadi salah satu hukum kemasyarakatan yang menjelaskan kadar dan penyebab keruntuhan itu, yakni apabila suatu masyarakat telah sampai pada tingkat yang telah amat sangat menggelisahkan sekali, maka ketika itu akan runtuh.[10]
Uarain al-Qur'an tentang hukum kemasyarakatan, hukum alam atau sunnatullah wajar, karena al-Qur'an merupakan kitab suci dan transenden yang berfungsi mengeluarkan manusia dari gelap-gulita (al-dhulumat) menuju terang benderang (al-nur).[11]
2. Pandangan Quraish Shihab tentang sunnatullah
Quraish shihab mendeskripsikan sunnatullah dengan contoh, "jika kecelakaan fatal terjadi dan semua penumpang tewas, maka itu disebut dengan sunnatullah. Tapi apabila ada kecelakaan sedemikian hebat, menurut perkiraan semua penumpangnya tewas, tetapi jika ada penumpang yang selamat, itu bukan sunnatullah tetapi 'iyanatullah, yaitu salah satu bentuk pertolongan dan pemeliharaan Allah".[12]
Dari uarain diatas, dapat disimpulkan bahwa Quraish Shihab membedakan antara sunnatullah dengan 'iyanatullah. Meskipun dalam banyak hal, Allah memperlakukan masyarakat sesuai dengan hukum alam atau kebiasaan-kebiasaan yang berlaku secara umum, namun kadangkala Allah melanggar hukum tersebut.[13] Pelanggaran tersebut bukan berarti Allah dhalim – al-'iyadz bi Allah – tetapi itu merupakan bentuk pemeliharaan-Nya bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya.
disamping ada sunnatullah, dan dengan hukum ini Allah memperlakukan masyarakat, ada juga yang namanya 'iyanatullah, yaitu pemeliharaan Allah dalam memperlakukan masyarakat bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya. Seperti Nabi Ibrahim a.s. ketika dibakar, menurut kebiasaan orang yang dibakar pasti akan merasakan panas dan terbakar bahkan hangus. Tapi kebiasaan tersebut tidak berlaku bagi Nabi Ibrahim a.s., ini bukan berarti Allah melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya, melainkan bentuk pemeliharaan Allah atau dengan kata lain disebut dengan mu'jizat yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim a.s.
Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan, bahwa "segala sesuatu yang berada di dalam alam raya ini baik sistem kerjanya maupun sebab dan wujudnya kesemuanya adalah hasil perbuatan Allah SWT semata. Apa yang dikehendaki-Nya terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak terjadi. Manusia tidak punya daya dan upaya memperoleh manfaat dan menolak mudharat kecuali bersumber dari Allah SWT. Tetapi ini bukan berarti Allah SWT berlaku sewenang-wenang atau bekerja tanpa ada sistem yang ditetapkan-Nya. Itu merupakan bentuk keesaan perbuatan-Nya yang dikaitkan dengan hukum, takdir, atau sunnatullah yang ditetapkan-Nya".[14]
Pernyataan ini dipertegas oleh Umar Shihab yang mengatakan "bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, seperti kebakaran, banjir, kemalingan, kematian, kerusakan, kecelakaan serta segala musibah yang lainnya merupakan sunnatullah yang berlaku secara mutlak.[15]
Pernyataan tersebut diatas merupakan penegasan bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini merupakan perbuatan Allah SWT sesuai dengan hukum-hukum atau kebiasaan-kebiasaan yang telah ditetapkan-Nya. Tidak ada satupun di dunia ini yang terlepas dari sunnatullah.
Di buku yang lain Quraish Shihab menjelaskan bahwa hukum alam itu atau para agamawan menyebutnya dengan sunnatullah identik dengan hukum sebab dan akibat. Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan bahwa "hukum alam atau sunnatullah merupakan ketetapan-ketetapan Tuhan yang lazim berlaku dalam kehidupan nyata, seperti hukum sebab dan akibat".[16]
Tetapi, demikian Quraish Shihab, bukanlah sebab yang menjadikan akibat – sebagaimana pendapat kebanyakan para ilmuwan. Hakikat sebab hanya diketahui bahwa ia ada sebelum terjadi akibat. Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa "sebab" itulah yang mewujudkan "akibat". Janganlah kamu menduga ujar Quraish Shihab bahwa "sebab itulah yang mewujudkan "akibat".[17]
Banyak sekali faktor ilmiah yang tidak mendukung bahwa sebablah yang menjadikan akibat. "Cahaya yang terlihat sebelum terdengarnya suara letusan pada meriam tidak bisa dianggap bahwa cahaya itulah yang menjadikan letusan itu", demikian kata David Hume (1711-1716 M). Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikatakan Imam Ghazali (1059-1111 M) " ayam selalu berkokok sebelum terbitnya fajar, tetapi bukanlah kokokan ayam itu yang menjadikan terbitnya fajar".[18]
Sekarang ini banyak sekali hal luar biasa yang bertentangan dengan kebiasaan masa silam, seperti orang yang sudah berusia lanjut dapat mengandung dan melahirkan – akibat rekayasa genetika. Hal ini tidak dapat kita katakan hal yang luar biasa atau diluar kebiasaan (sunnatullah). Kaitannya dengan mukjizat, bisa saja mukjizat itu mempuyai hukum tersendiri juga. bila faktor-faktor penye-bab terhimpun maka terjadilah hal yang luar biasa. Tetapi kekuatan luar biasa itu tidaklah bertentangan dengan akal manusia. Hanya keterbatasan manusia tentang hukum-hukum alam itu sajalah yang membuat hal itu sukar dipahami. Sehingga akhirnya tepatlah apa yang dikatakan Einstein, "apa yang terjadi, semuanya diwujudkan oleh suatu kekuatan Yang Mahadahsyat lagi Maha Mengetahui (superior reasoning power)".[19]
C. Kaitan Sunnatullah dengan Teologi
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tidak terlepas dari yang namanya sunnatullah, artinya segala kejadian di dunia ini terjadi sesuai dengan sunnatullah. Bagaimana dengan kekuasaan mutlak Tuhan? Apakah hukum ini menjadikan kekuasaan mutlak Tuhan tidak mutlak lagi? Aliran kalam rasional mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan tidak mutlak lagi. Ketidakmutlakan itu disebabkan oleh kebebasan yang diberikan Tuhan manusia kepada manusia, keadilan Tuhan, serta adanya hukum-hukum alam (sunnatullah) yang tidak pernah berubah dan beralih.[20]
Artinya kebebasan Tuhan terikan oleh norma-norma yang dibuatnya sendiri yaitu sunnatullah. Tuhan berbuat sesuai dengan hukum tersebut. Hal ini membuktikan keadilah Tuhan. Dia berbuat sesuai dengan peraturan yang Dia buat sendiri. Artinya perbuatan Tuhan terbatas, hal ini disebabkan oleh sunnatullah yang tidak berubah – atas kehendak Tuhan sendiri. Aliran ini merupakan pemahaman aliran kalam rasional[21], yaitu Mu'tazilah.[22]
Menurut penulis, kekuasaan Tuhan tetap saja mutlak. sunnatullah tidak dapat membatasi kekuasaan dan kehendak Tuhan. Hanya saja Tuhan menjadikan sunnatullah sebagai norma-norma dalam memperlakukan masyarakat. Sunnatullah itu juga atas kehendak-Nya sendiri. Hemat penulis, sunnatullah bukanlah pembatas kekuasaan Tuhan tetapi Tuhan berbuat sesuai dengan – atas kehendak-Nya sendiri.
Berkaitan dengan kekuasaan mutlak Tuhan, hamka mengatakan bahwa "Tuhan memang berkuasa mutlak. kehendak mutlak Tuhan itu tidaklah berlaku-sewenang-wenang, semua takdir Allah mempunyai jalan tersendiri, yakni yang penuh dengan hikmat kebijaksanaan Yang maha tinggi".[23]
Hikmat kebijaksaan ini hanya dapat diterima oleh orang yang berpikiran jernih. Kekuasaan dan kehendak Tuhan berlaku berdasarkan hikmat kebijaksanaan yang maha tinggi serta kebebasan berpikir yang diberikan Tuhan kepada manusia.
Memang ada hal yang terjadi di dunia yang menurut akal manusia ber-tentangan dengan akal, namun pada hakikatnya hal tersebut tidaklah bertentangan dengan akal hanya akal sajalah yang tidak mampu menangkapnya. Dan semua perbuatan Tuhan – walaupun akal menganggap perbuatan itu sewenang-wenang –mempunyai hikmah tersendiri, ini yang dimaksud oleh dengan HAMKA "hikmat kebijksanaan yang mahatinggi".
Tuhan tidak berbuat sewenang-wenang, tapi semua perbuatan Tuhan itu sesuai dengan sunnatullah yang penuh hikmah.
D. Penutup
komentar dan kritik
sunnatullah atau hukum alam adalah ketetapan-ketetapan Allah dalam memperlakukan masyarakat. Hukum ini tidak berubah dan tidak beralih. Quraish Shihab banyak menyinggung masalah sunnatullah ini dalam bukunya terutama dalam tafsir al-mishbah dan buku-bukunya yang lain.
Menurut Quraish Shihab bahwa Allah memperlakukan masyarakat sesuai dengan sunnatullah. Sunnatullah merupakan aturan yang sudah ditetapkan Allah sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Semua yang terjadi di dunia ini atas kehendak Allah SWT. Tidak satupun terlepas dari kehendak Allah, namun kehendak Allah itu sesuai dengan aturan yang telah dibuatnya yaitu sunnatullah.
Penulis setuju dengan apa yang dikatakan oleh Quraih Shihab yang me-ngatakan bahwa disamping ada sunnatullah – dan dengan ini Allah memper-lakukan masyaraktnya – ada juga yang namanya 'iyanatullah, yaitu pemeliharaan Allah kepada orang-orang yang dikehendakinya. Atau mukjizat untuk para nabi. Namun kata quraish shihab juga bahwa mukjizat itu juga tidak bertentangan dengan hu-kum alam atau sunnatullah . Hanya saja akal manusia tidak dapat memahaminya disebabkan karena keternbatasan pengetahuan manusia tentang sunnatullah itu sendiri.
Hemat penulis, penulis sependapat dengan pendapat Quraish Shihab ten-tang sunnatullah.
kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa simpulan antara lain:
a. Sunnatullah, hukum alam, atau hukum kemasyarakatan merupakan ketetapan-ketetapan atau kebiasaan-kebiasaan Allah dalam memper-lakukan masyarakat. Tidak berubah dan tidak beralih. Dengan hukum inilah Allah memperlakukan masyarakat.
b. Segala yang terjadi di alam semesta ini, seperti banjir, kebakaran, kecurian, kematian dan musibah yang lainnya semua terjadi berda-sarkan sunnatullah yang berlaku secara mutlak. Manusia tadak dapat menerima manfaat dan menolak mudharat kecuali atas kehendaknya. Tapi bukan berarti Allah kerkehendak sesuka hatinya, Allah berkehen-dak sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkannya yaitu sunna-tullah.
c. Disamping sunnatullah ada juga yang namanya 'iyanatullah yaitu pe-meliharaan Allah atas masyarakat atau atas orang-orang yang dike-hendakinya.
d. Sebenarnya tidaklah membatasi kehendak dan kekuasaannya. Karena kehendak dan kekuasaan-Nya tidak terbatas. Namun Allah meletakkan hukum ini sebagai dasar dalam memperlakukan masyarakat. Hukum ini tidak berubah dan beralih, Allah tidak akan mengingkari janji-Nya. Atau dengan kata yang lebih ringkas " sunnatullah tidaklah memba-tasi kekuasaan Allah namun Allah menjadikannya sebagai norma-norma dalam memperlakukan masyarakat".
Demikianlah uraian singkat tentang " Sunnatullah Menurut al-Qur'an Telaah atas Penafsiran Quraish Shihab tentang Sunnatullah ". Akhirnya kepada Allah penulis meminta am-pun atas segala kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Semoga tuli-san ini menjadi al-amal al-shalih.
Wa Allah a'lam bi al-shawaab.








[1]. Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005) vol. XI, 11 Cet. III, hlm. 494. lihat juga pada halaman 322 dan surat ke-48 ayat 23.
[2]. Ibid.
[3]. Ibid, hlm. 322.
[4]. Ibid, hlm. 283.
[5]. Qu'an Surat Fathir (35): 4l.
[6]. Qur'an Surat al-Ahzab (48): 23.
[7]. Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an (Jakarta: 2005), vol. XII 7, cet. III hlm. 521. lihat juga Umar Shihab, Kontekstual al-Qur'an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur'an, (Jakarta: permadani) , 2003,hlm. 82.
[8]. Ibid.
[9]. Qur'an Surat al-Isra' ayat: 76-77.
[10]. Ibid, hlm. 523.
[11]. Lihat Umar Shihab, Kontekstual al-Qur'an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur'an, (Jakarta: Permadani), 2003 hlm. 82
[12]. Lihat Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, (Jakarta: Lentera Hati), cet. VIII, 2006, hlm. 197.
[13]. Menurut penulis itu bukan bentuk pelanggaran Allah atas sunnatullah yang telah di-tetapkan-Nya. Anggapan tersebut hanya disebabkan karena kekurangan pengetahuan manusia tentang hukum alam (sunnatullah)
[14]. Ibid, hlm. 318.
[15]. Umar Shihab, ibid, 323.

[16]. Lihat Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur'an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung; Mizan, 2006), cet.XV hlm. 28.
[17]. Ibid. hlm. 28-29.
[18]. Ibid, hlm. 29.
[19]. Ibid.
[20]. lihat M. Yunan Yusuf, Corak Penafsiran Kalam Tafsir al-Azhar: Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, (Jakarta: Permadani), cet. II 2003, hlm. 89.
[21]. secara garis besar ada dua aliran kalam dalam islam, yaitu aliran kalam rasional dan aliran kalam tradisional. Aliran kalam rasional diwakili oleh Mu'tazilah dan Maturidiyyah Samarkand. Sedangkan aliran kalam tradisional diwakili oleh Asy'ariyyah dan Maturidiyyah Bukhara. Untuk lebih jelasnya lihat M. Yunan Yusuf, ibid, hlm. 7.
[22]. M. Yunan Yusuf, ibid, hlm. 90.
[23]. Ibid, hlm. 168.

suara aceh

DILEMA PEMEKARAN PROPINSI ACEH LEUSER ANTARA (ALA)
Oleh: Sayyidi Musthafa*

Serba Salah
Isu pemekaran Aceh Leuser Antara (ALA) sudah didengung-dengungkan oleh penduduk lima kabupaten yaitu, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tengah dan Aceh Sinkil, sejak tahun 2000. Alasan pemekaran tersebut disebabkan karena letak geografis antara propinsi NAD dengan kelima kabupaten tersebut realatif jauh. Implikasinya, kontrol dari pemerintah NAD tidak maksimal dan merata. Di samping itu, mutu pendidikan di kelima kabupaten tersebut sangat rendah.
Alasan lain adalah, secara kultural kelima penduduk kabupaten tersebut mempunyai perbedaan yang sangat signifikan dengan suku aceh. Kelima kabupaten tersebut bukanlah suku asli aceh, sehingga karena suku minoritas, mereka dianggap sebagai orang nomor dua.
Alasan tersebut bisa saja diterima dan dibenarkan, walaupun tidak secara keseluruhannya benar. Akan tetapi, perlu kita cermati lebih jauh lagi apakah alasan-alasan tersebut didasarkan pada bukti-bukti yang kuat? Kalau alasan tersebut didasarkan kepada bukti-bukti yang kuat, maka pemekaran suatu keniscayaan.
Namun perlu diketahui, jika pemekaran tetap dilaksanakan dalam situasi yang belum begitu kondusif seperti saat ini, maka kemungkinan timbulnya konflik baru (internal) tidak bisa dihindarkan. Mengapa konflik bisa terjadi kalau pemekaran propinsi Aceh Leuser Antara disetujui? Pertama, GAM merupakan penduduk yang paling berkuasa di NAD, sehingga jika pemekaran ini disetujui, mereka merasa kekuasaan dan perjuang mereka tidak dihargai. Walaupun GAM tidak ada secara struktural tetapi jiwa ke-GAM-an masih tertancap pada mantan GAM itu.
Kita masih ingat berapa lama GAM berjuang untuk memisahkan diri dari Indonesia. Perjuang tersebut tidaklah mudah, tetapi perjuangan tersebut penuh dengan tumpahan darah, jiwa, raga dan harta walaupun pada akhirnya tidak berhasil, tetapi setidaknya mereka telah membawa perubahan untuk Aceh secara keseluruhan. Kalau perjuangan tersebut dibalas dengan perpecahan dalam tubuh Aceh, maka konflik internal rawan terjadi. Ini bukan berarti pembentukan propinsi ALA tidak bisa dilakukan, hanya saja waktunya belum tepat. Kita harus berpikir jauh ke depan sebelum hal-hal yang tidak kita inginkan terjadi.
Masalah selanjutnya adalah, jika pemekaran propinsi ALA tidak dilakukan, maka keadaan buruk yang selama ini melanda calon propinsi ALA akan terus berlanjut. Hal ini disebabkan karena secara kultural calon propinsi ALA berbeda jauh dengan Aceh. Penduduk yang ada di kelima kabupaten ala itu bukanlah suku Aceh melainkan suku Gayo, Alas, dan Singkil. Semua suku tersebut adalah suku minoritas, sehingga acap kali suku minoritas tersebut termajinalkan.
Selanjut, bila dilihat dari pendidikan, kelima kabupaten tersebut masih tertinggal jauh dengan kabupaten lainnya. Keadaan tersebut diperparah oleh keadilan yang kurang merata. Hal tersebut disebabkan karena secara geografis letak kelima kabupaten tersebut relatif jauh dengan pemerintah pusat NAD dan sulit dijangkau, sehingga kontrol dari pemerintah pusat tidak efektif. Implikasinya keadaan kelima kabupaten tersebut carut-marut khususnya kabupaten Aceh Tenggara. Konon, kabupaten Aceh Tenggara Merupakan Kabupaten Yang Paling Tinggi Tingkat Korupsinya.
Itulah masalah yang harus kita pikirkan, jika propinsi ALA jadi dibentuk, maka kemungkinan timbulnya konflik internal harus dihadapi. Tapi jika propinsi ALA tidak jadi dimekarkan maka keadaan yang tidak menyenangkan, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus juga rasakan.
Sudahkah Kita Siap Membentuk Propinsi Baru?
Sebelum membentuk propinsi baru (ala) kita harus merenungkan pertanyaan di atas, sudahkah kita siap membentuk propinsi baru? Kalau kita sudah siap, sejauhmana persiapan kita? Dari realita yang kita lihat, kelima kabupaten tersebut sangat minim dalam sumber daya alam (sda) dan sumber daya manusia (sdm). Berapa besarkah sumber daya alam yang dimiliki oleh kelima kabupaten tersebut? Mampukah kita dengan sumber daya alam yang kita miliki membangun ala menjadi propinsi yang maju dan berperadaban? Masih banyak lagi pertanyaan yang harus kita ajukan sebelum membentuk propinsi aceh leuser antara.
Mampukah kita membangun propinsi baru dengan sumber daya manusia yang kita miliki? Berapa banyakkah sumber daya manusia yang kita miliki? Berapa banyak master yang kita miliki? Dan masih banyak pertanyaan yang harus kita ajukan sebelum membentuk propinsi baru.
Adapun data statistik yang menunjukkan bahwa kelima propinsi tersebut sudah layak untuk menjadi propinsi baru, bisa saja itu hanya sebuah rekayasa. Yang paling penting adalah realita dan fakta bukan data. Karena data bisa direkayasa. Intinya, kita harus berpikir lebih jauh ke depan sebelum kita terjerumus ke dalam jurang.
Pemekaran Bukan Hanya Kepenting Segelintir Orang
Jika pertanyaan-pertanyaan di atas sudah mampu kita jawab kita penuhi, maka silakan saja pembentukkan propinsi ala diwujudkan. dan kita juga harus siap dengan segala sumber daya yang kita miliki, menghadapi semua konsekuensi yang akan terjadi.
Yang terpenting adalah, jangan sesekali pemekaran propinsi ala hanya untuk memenuhi kepentingan segelintir orang. Jangan jadikan propinsi ala hanya untuk mendapat kursi jabatan. Kemudian kita menjual rakyat yang tidak tahu apa-apa.
Pembentukan propinsi ala adalah untuk kepenting semua elemen, bukan hanya untuk memenuhi kepentingan politikus yang berhati tikus. Pembentukan ala bukan hanya untuk memenuhi para elit, penjilat, para haus jabatan, haus materi, dan gemerlap dunia.
Tujuan dari pembentukan ala adalah untuk mengangkat kita semua dari keterpurukan yang selama ini mengrogoti kita. Niat baik ini tidak akan terwujud kalau sumber daya yang kita miliki tidak mencukupi. Dan jangan juga pembentukan ala hanya sebuah retorika – mengutip pernyataan Muchlis Gayo – yang hanya bertujuan untuk memenuhi kepentingan orang teretentu. Masyarakat, khususnya calon penduduk ala harus kritis menanggapi masalah tersebut. Masyarakat jangan sampai terprovokasi oleh retorika para pencari kekuasaan. Masyarakat harus benar-benar kritis dalam masalah ini. Jika tidak, masyarakat hanya akan dijadikan sebagai alat untuk kepentingan segelintir orang.
Ini bukanlah kecurigaan yang berlebihan, tetapi sebagai bentuk kehatian-hatian. Karena masalah pemekaran, masalah yang sangat urgen. Pemekaran propinsi, berarti kita akan memulai kehidupan kita dari nol. Kita seperti kertas kosong. Maka isilah kertas kosong dengan hal-hal yang baik. Karena catatan tersebut akan dibaca oleh dunia. Jika kertas kosong tersebut kita isi dengan catatan yang jelek, maka dunia juga akan membaca catatan kejelekan kita.

Jalan Alternatif
Masalah pemekaran propinsi ALA ini memang sangat dilema. Mengapa dikatakan dilema, karena kita berhadapan dengan dua masalah yang sama-sama tidak kita inginkan. Masalah pertama adalah, jika ALA jadi dimekarkan, maka kita akan berhadapan dengan konflik internal, sebagaimana yang penulis sebutkan sebelumnya. Kedua, jika ALA tidak dimekarkan, maka kita juga harus siap berada dalam kungkungan kelompok mayoritas. Pada umumnya, kelompok adalah kelompok yang paling berkuasa dalam setiap kegiatan. Untuk kasus yang terjadi sekarang ini adalah, calon penduduk ALA adalah penduduk minoritas jika dilihat dari sudut pandang budaya dan kultur.
Secara kultur dan budaya, calon penduduk ALA berbeda jauh dengan kultur Aceh secara umum. Calon penduduk ALA bukanlah suku Aceh. Karena itu, penduduk minoritas merasa kesulitan untuk melestarikan dan menjaga kebudayaan masing-masing. Ini disebabkan oleh adanya hegemoni budaya, bahasa, dan adat Aceh. Sehingga mau tidak mau, sebagai penduduk minoritas kita harus menerima hegemoni tersebut walaupun dengan perasaan terpaksa.
Jalan alternatif yang penuis tawarkan adalah menunda pemekaran Aceh sampai keadaan kondusif. Sehingga anggapan tidak tahu terimakasih atas perjuangan GAM reda. Penundaan tersebut juga harus dibarengi dengan penyiapan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia yang memadai, sehingga setelah tiba saatnya, kita benar-benar sudah siap menjadi propinsi. Inilah jalan yang terbaik menurut penulis. Penundaan dan penyiapan tersebut juga untuk menghindari ha-hal yang tidak diinginkan. Seperti, cemoohan dari penduduk lain atau warga Aceh secara khusus, jika ALA malah tambah bobrok dari sebelumnya.
Semua yang penulis kemukakan bukanlah bentuk ketidaksetujuan penulis dengan pemekaran ALA, hanya saja penulis merasa khawatir jika pemekaran ini dilaksanakan secara tergesa-gesa justru akan menjerumuskan kita ke dalam jurang. Penulis tetap saja setuju kalau keadaan sudah kondusif dan segala yang kebutuhan untuk pemekaran sudah dipersiapkan dengan matang.

Kesimpulan
Pemekaran ALA sangat dilema, kalau kita dihadapkan dengan dua masalah yang sama-sama tidak menguntungkan kita. Jika pemekaran Aceh dilaksanakan dalam waktu di mana keadaan belum begitu kondusif, maka timbulnya konflik internal tidak dapat kita dielakkan. Jika ALA juga tidak dimekarkan kemungkinan hilangnya kebudayaan Gayo pada khusunya tidak bisa hindari. Jalan alternatifnya adalah dengan menunda pemekaran sampai keadaan sudah kondusif dan persiapan sudah matang.
Penulis juga menghimbai kepada para ilmuwan Aceh untuk lebih mencermati pemekaran ALA ini. Pemekaran ini jangan hanya dilihat dari aspek positifnya, tetapi juga harus dilihat dari efek negatifnya. Sehingga dengan demikian, pemekaran Aceh bukan hanya sebuah retorika yang kemudian mengorbankan orang banyak untuk memenuhi kepenting segelintir orang.


*penulis adalah mahasiswa Institut Dirosat Islamiyah
Al-Amien (IDIA) Prenduan Sumenep Madura Jawa Timur Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits
Berasal dari Aceh Tenggara.

Al-Sunnah

PERGESERAN MAKNA SUNNAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEHUJJAHAN SUNNAH DALAM HUKUM ISLAM
Oleh: Sayyidi Musthafa

A. PENDAHULUAN
Kedudukan sunnah dalam Islam adalah sebagai sumber kedua dalam hukum Islam setelah al-Qur'an (Zahw, 1984: 48). Oleh karena itu, perhatian para sahabat dan para ulama sangat besar kepada sunnah. Para sahabat senantiasa memperhatikan sunnah dan tidak berani memanifulasi atau merobah sunnah. Hal tersebut karena Nabi pernah bersabda:
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
Artinya: barang siapa yang berbohong atas namaku, maka sediakanlah tempatnya di neraka (Hamid, 1999: 6).
Mengingat pentingnya sunnah dalam hukum Islam, maka para sahabat terus menemani Rasul, bahkan tidak batas dalam persahabatan mereka, para sahabat terus menerus menemani Rasul, apakah itu di pasar, di mesjid, di perjalanan di rumah dan di seluruh kehidupan Rasul. Semua kehidupan Rasul senantiasa direkam oleh para sahabat. Bukan hanya merekam atau mendokumentasikan segala gerak-gerik beliau, tetapi juga para sahabat mengikuti semua gerak-gerik Rasul. Para sahabat sering sekali bertanya kepada Rasul tentang Islam (al-Siba'i, 2000 : 74)
Para sahabat sangat hati-hati dalam periwayatan sunnah. Umar bin Khattab bahkan pernah melarang para sahabat meriwatkan hadits terlalu banyak, karena beliau takut kalau mereka berbohong dan bercampur dengan al-Qur'an. Bukan hanya itu, Umar bin Khattab bahkan membakar hadits yang ditulis oleh para sahabat (Fawzi, 1995: 50).
Walaupun perhatian sahabat sangat besar terhadap sunnah, tetapi sangat sedikit para sahabat yang mendokumentasikan sunnah dalam bentuk tulisan, hal tersebut karena Nabi pernah melarang para sahabat menulis selain al-Qur'an
لاتكتبوا عني غير القرآن, ومن كتب عني غير القرآن فليمحه...
Artinya: Jangan tulis dariku selain al-Qur'an, barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur'an maka hapuslah… (Fawzi, 1995: 37).
Larangan menulis sunnah (hadits) hanyalah larangan yang bersifat sementara. Nabi takut sejumlah sunnah (hadits) bercampur dengan al-Qur'an, sehingga al-Qur'an tidak murni lagi (Azami, 2006: 109). Dan ada beberapa sahabat yang diperbolehkan Nabi untuk menulis sunnah (hadits).
Yang menjadi permasalahan apakah kedudukan sunnah pada masa awal seperti sekarang ini? Pertanyaan ini mendorong penulis untuk menulis makalah singkat ini. Sunnah yang dimaksud adalah sunnah secara umum, bukan seperti yang dipahamai oleh para jumhur ulama hadits. Menurut hemat penulis, sunnah mengalami pergeseran makna, dari yang sebelumnya hanya untuk menyebutkan kebiasaan atau aturan seseorang atau suatu kaum, kemudian para ulama mutaakhkhir menyamakan antara sunnah dan hadits. Kalau yang dimaksud sunnah dalam arti umum, maka penyamaan makna antara keduanya (sunnah dan hadits), kurang tepat.
Berangkat dari latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji – walaupun hanya secara ringkas – tentang bagaimanakah proses pergeseran makna sunnah? Dan apa pengaruh pergeseran makna sunnah terhadap kehujjahannya dalam hukum Islam?
Kedua rumusan masalah tersebut akan penulis coba untuk menelaahnya – walaupun hanya secara ringkas. Karena tidak mungkin penulis jelaskan dalam makalah singkat ini secara terperinci mengenai pergeseran makna sunnah. Mengingat kemampuan penulis juga sangat minim mengenai hal ini (alasan subjektif) di satu sisi. Di sisi lain, bukan dalam makalah singkat ini tempatnya utnuk menjelaskan pergeseran makna sunnah secara terperinci, tetapi – kalau anda tertarik untuk menelitinya – silakan tulis dalam bentuk penelitian apakah itu dalam skripsi atau yang lainnya.

B. PENGERTIAN SUNNAH DAN HADITS
untuk memudahkan kita memahami sunnah, berikut akan dijelaskan pengertian sunnah menurut para ahli, apakah itu menurut bahasa (terminologi) atau istilah (epistimologi).
Pengertian Sunnah Lughatan dan Istilahan.
a. Admad bin Mahmud abd al-Wahhab al-Syinqithy.
Sunnah adalah cara atau aturan (thariqah) atau jalan hidup (sirah), seperti kata sya'ir:
من معشر سنت أمم آباؤهم وكل قوم سنة وإمامها
Sebagaimana juga dijelaskan dalam hadits nabi:
من سن سنة حسنة ...
Dan begitu juga sebgaiman dijelaskan dalam al-Qur'an
قد خلت من قبلكم سنن فسيرروا في الأرض فانظروا كيف كان عاقبة المكذبين
Dari penjelasan di atas sudah jelas bagi kita bahwa pengertian sunnah adalah cara atau jalan hidup (al-syinqithy, 2002: 46-7).
Menurut al-Zubaidi sebagaimana dinukil oleh al-Syinqithy (2002: 48-49) mengatakan bahwa sunnah adalah cara atau jalan yang lurus dan baik, sehingga orang mengatakan orang ini alh al-Sunnah, artinya dia mempunyai jalan atau cara hidup yang lurus dan baik.
Sunnah secara epistimologi apa yang diperintahkan Nabi SAW, yang dilarangnya, atau yang diajaknya, baik itu melalui perkataan maupun perbuatan, oleh karena itu jika dikatakan dalam dalil hukum Islam al-kitab dan al-sunnah, maksudnya adalah al-Qur'an dan hadits.
b. Menurut Mahmud Abu Rayyah.
Sunnah secara bahasa adalah cara atau jalan hidup yang diikuti dan dilaksanakan. Hal sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dan al-Jurjani. Menurut Ibnu Taimiyah, sunnah adalah kebiasaan (al-'adah). Al-jurjani mengatakan sunnah secara bahasa adalah jalan yang diridhai atau tidak dirihai.
Menurut Syara' sunnah adalah jalan yang dijalani dalam agama (al-thariqah al-maslukah fi al-din) yang tidak wajib dilaksanakan. Sunnah Rasul adalah apa yang dilakukan dan dilalui oleh Nabi secara khusus dan para sahabat (Rayyah, Tt: 11-12).
c. Menurut Ibrahim Fawzi.
Fawzi (1995: 29) mengatakan sunnah secara bahasa adalah cara (al-thariqah) dan panutan (al-qudwah), hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang berbunyi:
من سن في الاسلام سنة حسنة فله أجؤها وأجر من عمل بها ومن سن في الاسلام سنة سيئة فله وزرها وزر من عمل بها (رواه مسلم)
Sunnah secara epistimologi adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan yang bersumber dari Rasul SAW selain al-Qur'an yang bisa dijadikan dalil syar'i (hukum Islam) (Fawzi, 1995: 29).
Ulama membagi sunnah tiga bagian, yaitu:
1) Al-sunnah al-qauliyah, yaitu perkataan Rasul SAW yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik itu dalam ibadah atau mu'amalah.
2) Al-sunnah al-fi'liyah, yaitu segala perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW yang bisa dijadikan sunnah atau qudwah baik itu dalam ibadah atau muamalah
3) Al-sunnah al-taqririyah, yaitu perkataan atau perbuatan para sahabat yang didengar Nabi atau dilihatnya kemudian disetujuinya atau tidak disetujuinya (dilarangnya) (Fawzi, 1995: 19-20).
d. Menurut Musthafa Al-siba'i.
Sunnah secara bahasa adalah jalan yang terpuji (al-thariqah al-mahmudah) atau yang tidak terpuji (al-thariqah al-madzmumah).
Sunnah menurut para muhaddits adalah sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani); atau tingkah laku Nabi Muhammad SAW, baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudah menjadi Nabi. Pengertian ini, menurut mayoritas ulama hadits dan sunnah sama (sinonim) dengan hadits.
Menurut ulama ushul, sunnah adalah sabda (perkataan), perbuatan dan ketetapan Rasul yang bisa dijadikan sebagai dalil dalam hukum Islam. Al-Siba'i lebih memilih pengertian sunnah menurut ulama ushul. Dia juga menolak sejarah kehidupan Nabi secara umum, bagian dari sunnah.
e. Menurut M.M. Azami.
Menurut Azami, sunnah secara bahasa adalah tata cara, tradisi, dan prilaku hidup, baik yang terpuji maupun tidak. Pengertian semacam ini sudah dipakai dalam Islam. Hal ini sebagaimana terdapat dalam al-Qur'an, al-sunnah, atsar, dan sya'ir Arab (Azami, 2006: 26).
Sunnah menurut para ahli hadits, sunnah adalah sabda, perbuatan, ketetapan, sifat (watak budi, atau jasmani); tingkah laku Nabi SAW baik setelah menjadi Nabi mau sebelum menjadi nabi. Para ahli fiqh mengatakan sunnah adalah hal-hal yang berasal dari Nabi SAW yang tidak wajib dilaksanakan (Azami, 2006: 14)
f. Menurut Para Orientalis.
Pengertian sunnah menurut Schacht adalah perbuatan-perbuatan Nabi SAW yang ideal, pengertian ini juga dipakai oleh Imam al-syafi'i. tetapi menurutnya pengertian sunnah yang paling tepat adalah contoh-contoh yang sudah berlalu dan tata cara hidup. Goldziher mengatakan sunnah adalah istilah animis kemudian dipakai oleh orang-orang Islam. Begitupun dengan Margoliouth mengatakan bahwa sunnah sebagai sumber hukum Islam pada mulanya adalah masalah yang ideal atau norma yang dikenal dalam masyarakat, kemudian pada masa belakangan pengertian itu terbatas hanya untuk perbuatan-perbuatan Nabi SAW saja.
Oleh karena itu, Schacht berpendapat pengertian sunnah dalam masyarakat Islam pada masa-masa awal adalah hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan atau hal-hal yang menjadi tradisi. Sebagaimana juga pendapat seperti ini dikutip oleh Ya'qub, bahwa Schacht mengatakan konotasi sunnah dalam masyarakat Islam pada masa-masa awal adalah the customary or generally agreed practiced (hal-hal yang sudah menjadi tradisi atau perbuatan yang telah disepakati secara umum/telah memasyarakat) (Yaqub, 2004: 34).
Ali Hasan al-Qadir dalam bukunya Nadhrat 'Ammah fi Tarikh al-Fiqh al-Islami mengatakan, semula sunnah yang terdapat di kalangan arab adalah jalan yang benar dalam kehidupan perorangan maupun masyarakat (Azami, 2006: 20-1). Menurut al-Qadir, pengertian sunnah yang dibatasi hanya untuk menunjukkan sunnah Nabi saja, karena peran al-Syafi'i, yaitu pada akhir abad kedua hijriah. Dia menyimpulkan penyempitan makna sunnah terjadi pada akhir abad kedua hijriah (Azami, 2006: 21).
Pengertian Hadits Lughatan dan Istilahan.
a. Menurut Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah.
Hadits secara bahasa adalah lawan dari kata qadim (lama) sebagaimana firman Allahdalam al-Qur'an:
فليأتوا بحديث إن كانوا صادقين
Sedangkan menurut istilah, sunnah adalah perkataan, perbuataan, ketetapan sifat (fisik dan moral) Nabi Muhammad SAW seperti bentuk tubuh, warna kulit dan yang lainnya (Syahbah, 1990: 15).
b. Menurut Mahmud al-Thahhan.
hadits secara bahasa adalah baru. Sedangkan menurut istilah hadits adalah perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat yang disandarkan kepada Nabi SAW (al-Thahhan, 1985: 15).
c. Menurut Kitab Ta'liqat ala al-Hadits
Hadits sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Ta'liqat ala al-Hadits adalah perkataan (kalam) yang diriwayatkan oleh para sahabat secara tersambung (muththashil) dari sahabat lain ke sahabat yang lainnya walaupun dalam jumlah yang banyak, seperti: hadits bad' al-wahyu dan al-ifk.
Adapun makna hadits dalam al-Qur'an adalah sebagai berikut:
1) Al-risalah al-diniyah, seperti firman Allah dalam al-Qur'an yang berbunyi:
اللهم نزل أحسن الحديث كتابا (الزمر: 23)
2) Kisah atau cerita secara umum atau kisah kedunian, seperti yang terdapat dalam firman AllahSWT:
وإذا رأيت الذين يخوضون في آياتنا فأعرض عنهم حتى يخوضوا في حديث (الأنعام: 68)
3) kisah tentang sejarah, sebgaiman firman AllahSWT:
وهل أتاك حديث موسى (طه: 9)
3) percakapan dengan tetangga, sebagaimana firman AllahSWT:
وإذا أسر النبي إلى بعض أزواجه حديثا (التحريم: 3).
Sedangkan makna hadits dalam hadits sama seperti makna hadits dalam al-Qur'an (Tp, 1994: 34-5).
Kesimpulan.
Dari beberapa pegertian sunnah dan hadits di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa makna sunnah dan hadits sebagai berikut:
a. Sunnah adalah aturan, tata cara hidup atau jalan hidup seseorang atau suatu kaum. Kemudian sunnah dipersempit maknanya menjadi tata cara hidup Nabi SAW dan para sahabat.
b. Secara bahasa hadits adalah lawan dari qadim (lama), percakapan. Sedangkan menurut istilah hadits adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasul SAW.
C. KEDUDUKAN SUNNAH DALAM ISLAM
Kita sudah maklum bahwa al-Qur'an adalah rujukan utama dalam Islam. Al-Qur'an mengatur semua aspek kehidupan kita, apakah itu dari segi ibadah, mu'amalah dan lain sebgainya. Semua orang Islam mengakui akan hujah al-Qur'an dalam Islam.
Kendatipun demikin, kandungan al-Qur'an sangat umum, sehingga perlu kepada penafsiran dan penjelasan. Karena tanpa penjelasan (al-bayan), kita tidak akan bisa mengamalkan kandungan al-Qur'an. Sebagai contoh, al-Qur'an menyurh kita untuk mengerjakan shalat, tetapi al-Qur'an tidak menjelaskan tentang tata cara shalat. Al-Qur'an juga menyuruh kita untuk mengerjakan puasa tetapi al-Qur'an tidak menjelaskan secara terperinci tata cara puasa, dan begitupun dengan yang lainnya. Ringkasnya, al-Qur'an hanyalah rujukan umat Islam yang bersifat umum dan masih perlu kepada penjelasan, penafsiran, dan eksplorasi makna yang sangat dalam.
Yang paling menjelaskan al-Qur'an adalah Nabi Muhammad SAW. Karena beliaulah yang paling mengerti makna al-Qur'an. Karena al-Qur'an diturunkan kepada beliau untuk disampaikan kepada seluruh alam. Sebagaimana firman Allahdalam al-Qur'an yang berbunyi:
وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم و لعلهم يتفكرون (النحل: 44)
Artinya: dan kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada ummat manausia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan (al-Nahl: 44).
Ayat di atas menjelaskan bahwa diantara tugas Nabi SAW adalah menjelaskan al-Qur'an baik itu dalam bentuk lisan atau atau perbuatan. Tugas ini merupakan perintah dari Allah SWT sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat di atas (Azami, 2006: 27).
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah sunnah mempunyai kedudukan seperti sekarang ini? Ataukah tidak? Dari beberapa literatur yang penulis baca, bahwa sanya sunnah dalam arti khusus, yaitu sunnah Rasul adalah mempunyai kedudukan yang sangat urgen dalam Islam. Tetapi jika yang kita maksud dengan sunnah adalah sunnah secara umum, yaitu dengan makna tradisi, tata cara hidup atau aturan seseorang atau kelompok orang, maka sunnah dengan makna tersebut tidak mempunyai kedudukan yang urgen dalam Islam.
Apakah sunnah dulu seperti yang kita pahami saat sekarang ini? Menurut hemat penulis, sunnah sudah mengalami penyempitan makna dari yang dulunya bermakna aturan, tata cara hidup atau tradisi seseorang atau suatu kaum, kemudian pada akhir abad kedua hijriah sunnah tersebut mengalami penyempitan makna dan hanya dikhususkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Kedudukan sunnah setelah mengalami pergeseran makna, artinya setelah dikhususkan hanya kepada Nabi SAW atau sebagian ulama mengatakan sahabat, mempunyai kedudukan yang sangat urgen dalam Islam. sunnah menjadi sumber hukum kedua dalam Islam setelah al-Qur'an. Adapun kedudukan sunnah dalam Islam adalah sebagai penjelas (al-bayan) al-Qur'an.
Kandungan al-Qur'an sangat umum, sehingga memerlukan penjelasan dan penafsiran. Tanpa ada penjelasan dan penafsiran dari Nabi SAW kita tidak akan bisa mengamalkan al-Qur'an. Oleh karena itu Nabi tampil sebagai penjelasan al-Qur'an penjelasan itu meliputi:
1. Sebagai penjelas atas ayat-ayat yang mujmal (global). Contohnya firman Allah dalam al-Qur'an:
وأقيموا الصلاة
Lafadz ini tidak menjelaskan bagaimana tata cara melaksanakan shalat, waktunya dan yang lainnya. Kemudian Rasul SAW menjelaskan kapan shalat itu harus dilaksankan, bagaimana cara melaksanakan. Penjelasan beliau bisa dengan perkataan (sabda) atau dengan perbutan beliau (al-Syinqithi, 2002: 64). Sebagaimana Nabi SAW bersabda:
صلوا كما رأيتموني أصلي.
2. Untuk membatasi ayat-ayat yang Muthlaq (Taqyid al-Muthlaq). Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
فامسحوا بوجموهكم وأيديكم منه.
Tangan itu meliputi dari jari-jari sampai ke lengan atas. Bagian manakah yang harus disapu apakah sampai pergelangan saja, sampai siku atau sampai lengan atas. Kemudian Nabi menjelaskan bagian mana yang harus disapu atau diusap. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits SAW:
جاء رجل إلى عمر بن الخطاب, فقال: إني أجنبت فلم أصب الماء. فقال عمار بن ياسر لعمر بن الخطاب: أما تذكر أنا كنا في سفر أنا و أنت, فأما أنت فلم تصل, أما أنا فتمعكت فصليت, فذكرت للنبي صلى الله عليه وسلم فقال النبي لا: (كان يكفيك هكذا) فضرب النبي صلى الله عليه وسلم بكفيه الأرض و نفخ فيهما, ثم مسح بهما وجهه وكفيه.
Hadits tersebut menjelaskan bahwa kata tangan yang dimaksud dalam ayat di atas kedua telapak tangan (al-Syinqithi, 2002: 66).
3. Untuk mengkhususkan ayat-ayat yang umum (takhsish al-'amm) sebagaimana firman Allahdalam al-Qur'an:
السارق و السارقة فاقطعوا
Lafadh al-sariq pada ayat di atas, umum. Seorang hakim harus memotong tangan pencuri apakah si pencuri itu mencuri sampai pada batas nisabnya ataupun kurang. Pada tempat penyimpanan ataupun tidak. Kemudian hadits mengkhususkan ayat tersebut. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Nabi SAW:
وعن عائشة (رضي الله عنها) قالت: قال النبي صلى الله عليه وسلم: تقطع اليد في ربع دينار فصاعدا. و في رواية مسلم أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لاتقطع يد السارق إلا في ربع دينار فصاعدا.
Hadits di atas menjelaskan bahwa batas dipotongnya tangan pencuri jika dia mencuri senilai seperempat dinar atau lebih dan di tempat penyimpanan (al-hirz) (al-syinqithi, 2002: 67-8).
Disamping itu juga, sunnah kadangkala membuat hukum yang tidak terdapat dalam al-qu'an. Artinya sunnah bukan sebagai penjelas al-Qur'an melainkan membuat hukum tersendiri (istiqlal al-sunnah bi al-tasyri'). Seperti haram mengawini bibi dari pihak ayah (al-'ammah) dan bibi dari pihak ibu (al-khalah) sekaligus (dipoligami), haram mengawini kerabat sesusuan dan masih ada lagi yang lainnya (Syahbah, 1990: 14).
D. PERAN IMAM AL-SYAFI'I DALAM MEMBELA SUNNAH
Imam syafi'I sangat berperan dalam membela sunnah. Sebagai orang yang mengikuti manhaj ashab al-hadits, dia senantiasa menjadikan al-Qur'an dan sunnah sebagai dalil dalam menetapkan suatu hukum, terutama hal-hal yang berkaitan dengan aqidah. Di samping itu dia juga selalu menjadi al-Qur'an dan sunnah sebagai hujjah dalam menghadapi penentangnya terutama dari kalangan ahli kalam. Lebih jauh beliau berkata: "jika kalian telah mendapatkan sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain". Atas komitmenya dalam mengikuti dan membela sunnah dia mendapat gelar sebagai "nashir al-sunnah wa al-hadits" (syarifuddin: 5).
Imam al-Syafi'i juga mengatakan bahwa bahwa sunnah juga wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW (Zayd, 2003: 88-9). Oleh karena itu, kadangkala sunnah membuat hukum tersendiri (istiqlal al-Sunnah bi al-tasyri') – sebagaimana dijelaskan di atas. Bahkan Imam al-Syafi'i menafsirkan bahwa kata hikmah yang terdapat dalam al-Qur'an adalah sunnah (Zayd, 2003: 85). Hal dapat kita lihat ketika Imam al-Syafi'i menafsirkan al-Qur'an surat ali imran: 164 yang berbunyi:
لقد من الله على المؤمنين إذ بعث فيهم رسولا من أنفسهم يتلوا عليهم آياته و يزكيهم ويعلمهم الكتاب و الحكمة وإن كانوا من قبل لفي ضلال مبين (آل عمران: 164).
Imam mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-kitab adalah al-Qur'an dan al-hikmah adalah sunnah al-Rasul SAW (al-Suyuthi, Tt: 25). Keteguhan Imam al-Syafi'i bukan hanya sampai di situ, bahkah Imam al-Syafi'i menjadi hadits ahad (al-khabar al-wahid) sebagai hujjah dalam Islam (Zahw, 1984: 277).
E. komentar dan kesimpulan
Menurut hemat penulis, pengertian sunnah sudah mengalami pergeseran makna, dari yang sebelumnya hanya untuk menunjukkan hal-hal kebiasaan atau hal-hal yang sudah menjadi tradisi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Schacht. Atau seperti yang dikatakan oleh Ali Hasan Abd al-Qadir bahwa sunnah adalah jalan yang benar dalam kehidupan perorangan maupun kelompok (Azami, 2006: 21). Hal dapat kita lihat dari hadits Nabi SAW yang berbunyi:
عليكم بسنتي وسنة خلفاء الراشدين
Hadits tersebut membuktikan bahwa kata sunnah bukan hanya untuk Nabi tetapi juga kepada selain nabi. Jika mengatakan bahwa sunnah hanya dikhususkan kepada Nabi maka hal tersebut kurang tepat.
Kendatipun demikian, pada akhir abad kedua hijriah, tepatnya pada masa Imam al-Syafi'i, makna sunnah mengalami pergeseran dan penyempitan. Hal ini mungkin disebabkan oleh kemunculan inkar al-sunnah pada abad kedua hijriah (Azami, 2006: 50) sehingga Imam al-Syafi'i tampil membela sunnah dan menjadikannya mempunyai kedudukan yang urgen dalam hukum Islam. bahkan Imam al-Syafi'i mengatakan bahwa sunnah adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW – sebagaimana telah disebutkan di atas. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur'an surat al-najm ayat 3-4 yang berbunyi:
وما بنطق عن الهوى إن هو إلا وحي يوحى (النجم: 3-4)
Setidaknya, pergeseran makna sunnah ini memperkuat kedudukan sunnah Nabi SAW dalam hukum Islam. walaupun sebelum terjadi pergeseran makna sunnah, sunnah Nabi SAW itu sudah menjadi pegangan para sahabat dalam menentukan hukum Islam.
Pada masa sekarang ini sunnah tersebut identik dengan hadits. Jika orang mengatakan al-Qur'an dan sunnah, maka yang dimaksud dengan sunnah adalah hadits Nabi Muhammad SAW.
Agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami makna sunnah dan atau agar sunnah itu khusus untuk Nabi SAW, maka orang-orang muslim menambahi "al" di depan kata sunnah (Azami, 2006: 20). Dalam ilmu nahwu "al" tersebut disebut dengan al ma'rifah. Dengan demikian, jika ada kata sunnah dan di depannya dibubuhi oleh al ma'rifah, maka al-sunnah yang dimaksud adalah sunnah Nabi Muhammad SAW.
Dalam makalah ini kata sunnah sengaja tidak didahului oleh "al", karena kata sunnah yang dipakai dalam makalah ini adalah sunnah dalam ejaan bahasa Indonesia bukan Arab. Dan sunnah dengan dibubuhi "al" di depannya atau sunnah Nabi SAW sudah menjadi sumber hukum Islam sejak dahulu.
Wa Allah a'lam bi al-shawab.

MENCIPTAKAN TRADISI YANG BAIK
A. PENDAHULUAN
Islam dan semua agama, pasti menyuruh pemeluknya untuk berbuat baik. Berbuat baik bukan hanya kepada Allah (vertikal) semata, tetapi juga kepada sesama manusia (horizontal). Dalam Islam kedua hal tersebut dikenal dengan habl min Allah (vertikal) dan haml min al-nas (horizontal). Kedua hubungan tersebut haruslah kita penuhi secara seimbang. Orang tidak dikatakan beriman kalau membiarkan saudaranya (tetangganya kelaparan) (hadits). Orang pergi haji sementara warga tetangga sebelah (WTS) nya kelaparan, maka haji tersebut tidak berarti.
Ilustrasi di atas menggambarkan, bahwa Islam itu bukanlah hanya pengabdian kepada Allah tetapi juga – sebagai seorang muslim – dituntut untuk senantiasa menjaga hubungan dengan sesama dengan baik, rukun, dan cinta damai. Bahkan kita juga dituntut untuk mendamaikan saudara kita yang sedang berselisih (konflik). Sebagaimana dijelaskan dalam al-qur'an "sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, maka damaikan kedua saudara kamu (yang sedang berselisih)… (Q.S. al-Hujarat: 10 )
Kutipan ayat tersebut menjelaskan, bahwa Islam itu sebenarnya agama yang cinta kedamaian, ketenteraman, dan keselamatan. Islam bukanlah agama yang sadis, fatalis, fundamentalis, ekstremis, ekslusif dan lain sebagainya. Tetapi Islam adalah agama moderat (ummatan wasathan). Artinya, Islam jauh dari konotasi "ter". Karena semua yang berimbuhan "ter" biasanya mengandung makna yang kurang baik.
Lebih jauh lagi, jika kita cermati ajaran Islam itu dengan penuh ketelitian dan menanggalkan unsur subjektifitas, maka kita akan menemukan Islam penuh dengan nilai-nilai kebaikan. Penuh dengan keindahan, kedamaian dan ketentraman.
Di samping itu, Islam juga selalu menyuruh kita untuk senantiasa membudayakan tradisi yang baik dan melarang kita untuk membuat tradisi yang jelek.
B. MENCIPTAKAN TRADISI YANG BAIK
Rasululullah SAW bersabda:
من سن سنة حسنة فله أجرها و أجر من عمل بها إلى يوم القيامة ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها و وزر من عمل بها إلى يوم القيامة (رواه مسلم)
Artinya: barang siapa yang membuat sunnah yang baik maka untuknya pahalanya dan pahala yang mengerjakan sunnah itu sampai hari kiamat. Dan barang siapa yang membuat sunnah yang jelek maka baginya dosanya dan dosa yang mengerjakan sunnah itu sampai hari kiamat (H.R. Muslim) (al-Siba'i, 2000: 65)
Hadits di atas menjelaskan, supaya kita senantiasa membudayakan tradisi yang baik. Tradisi yang kemudian orang bisa mengikuti tradisi yang kita lakukan itu. Bukan tradisi yang buruk yang kemudian dengan tradisi buruk itu kita menjerumuskan orang lain ke jurang kenistaan yang penuh dengan dosa.
yang menjadi figur, biasanya, segala gerak-geriknya cenderung dicontoh oleh orang lain. Sebagai contoh, artis yang menjadi idola seseorang, biasanya orang tersebut berusaha untuk mengikuti segala gerak-geriknya, cara berpakaiannya dan gaya hidupnya. Simpelnya, orang akan selalu mengikuti orang yang menjadi idolanya.
Untuk itulah Islam menyuruh kita untuk membudayakan tradisi yang baik, terutama bagi orang-orang yang terkenal, seperti tokoh, selebritis, pemimpin dan lain-lain. Karena orang-orang tersebut cenderung diikuti dan dicontoh oleh orang lain.
Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa tujuan diutusnya nabi Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sebagai dijelaskan dalam sebuah hadits:
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
Artinya: sesungguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan kemulian akhlak.
Hadits di atas menjelaskan bahwa nabi diantara tujuannya diutus ke muka bumi ini adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Kalau kita lihat realita sekarang ini, masyarakat kita sedang dilanda krisis moral, dekadensi moral. Akibatnya banyak perbuatan yang tidak laik untuk diperbuat malah dibabat dan diembat. Realita tersebut sungguh sangat ironi. Bagaimana tidak dikatakan ironi, nabi kita Muhammad SAW diutus untuk memperbaiki akhlak manusia, tetapi umatnya sekarang ini malah mengikuti gaya barat yang tidak sesuai dengan ajaran dan nilai Islam.
Kondisi moral masyarakat kita dewasa ini sangat memprihatinkan. Moral yang seharusnya bersumber dari al-qur'an kini tidak tercermin sama sekali. Adalah rasulullah contoh tauladan bagi seluruh manusia. Dialah satu-satunya manusia yang layak menjadi figure setiap orang. Akhlak rasulullah adalah cerminan nur ilahi, semua gerak-geriknya bersumber dari al-qur'an. Aisyah ketika ditanya tentang akhlak rasul dia menjawab, adalah akhlak rasulullah al-qur'an. Namun ironinya, moral pengikut nabi Muhammad tidak mencerminkan moral Islami. Moral yang bersumber dari al-qur'an, tetapi manusia justru lebih mengikuti moral barat yang jauh dari nilai-nilai al-qur'an.
Di antara tradisi yang baik itu adalah menyantuni fakir miskin, anak yatim, orang yang tidak mampu dan yang lainnya. Bahkan Allah menyetarakan orang yang menelantarkan anak yatim dan orang yang tidak mengasihi fakir miskin dengan pendusta agama. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam al-qur’an surat al-ma’un ayat 1 sampai dengan ayat 3:
أرءيت الذي يكذب بالدين فذالك الذي يدع اليتيم و لا يحض على طعام المسكين فويل
Artinya: “Apakah engkau telah melihat orang yang mendustakan hari kemudian? Maka itu yang mendorong keras anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi pangan orang miskin”.
Menurut para mufassir, diantaranya quraish-shihab dan beberapa ulama lainnya, ayat ini berisi kecaman atas orang-orang yang menelantarkan anak yatim dan enggan menganjurkan orang lain apalagi memberi makan fakir miskin. Allah SWT menyamakan orang tersebut dengan pendusta agama (Shihab, 2003: 545). Faktor yang membuat mereka enggan melakukan kedua hal tersebut adalah, karena mereka tidak percaya akan hal yang ghaib.
Hal yang ghaib bukan hanya masalah surga dan neraka, hari kiamat dan lain sebagainya, tapi juga menyangkut masalah balasan atas perbuatan kita dan pelimpatgandaan balasan atas orang yang melakukan kebaikan.
Ketidak percayaan akan hal ghaib membuat orang enggan untuk berinfak. Karena mereka menganggap apa yang mereka infakkan akan sia-sia dan tidak akan mendapat balasan apa-apa. Bukan hanya itu saja, orang yang tidak percaya akah hal ghabi juga akan mengabaikan semua kewajiban agama. Itulah sebabnya mengapa nabi pertama kali menanamkan keimanan ketika beliau berdakwah di mekah. Karena keimanan adalah kunci segala-galanya. Keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan. Itulah sebabnya mengapa al-qur’an selalu mengandengkan kata iman dengan amal shalih. Karena memang keimanan itu harus dibuktikan dengan amal shalih. Ibarat kabel listrik, kita tidak akan tahu kabel itu berarus (dialiri arus listrik) jika tidak dibuktikan dengan cahaya lampu misalnya, televisi dan lain sebagainya. begitupun dengan iman. Iman tanpa amal shalih nihil.
Agar muslim membudayakan tradisi baik, kadangkala Islam menjelaskan ancaman bagi orang yang enggan membudayakan tradisi baik, kadang kala juga isla, memberikan kabar gembira bagi mereka yang gemar membudayakan tradisi baik.
Sebagai contoh, dalam surat al-mau'n ayat: 1 sampai dengan ayat 3, merupakan ancaman bagi orang yang enggan membudayakan tradisi baik, yaitu menyantuni anak yatim dan fakir miskim. Kemudian dalam hadits juga banyak dijelaskan bahwa orang yang membudayakan tradisi baik – menyantuni fakir miskin, anak yatim, dan lain sebagainya – akan mendapatkan nikmat yang luar biasa. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits:
حدثنا عبد الله بن الوهاب قال حدثني عبد عزيز بن حازم قال حدثني أبي سمعت سهل بن سعد عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: أنا وكافل اليتيم في الجنة هكذا, و قال بإصبعيه السبابة والوسطى (رواه البخارى)
Hadits tersebut di atas menjelaskan keutamaan orang yang menyantuni anak yatim. Kedudukan orang yang menyantuni anak yatim dan rasulullah di surga, seperti jari telunjuk dan jari tengah. Perumpaan jari telunjuk dan jari tengah tersebut mengisyaratkan bahwa derajat orang yang menyantuni anak yatim sangat dengan dengan rasulullah SAW. Isyarat tersebut bisa juga bermakna, orang yang menyantuni anak yatim segera masuk surga (Al-'Asqalani, 2000: 47-8).
C. KESIMPULAN
dari uraian di atas, dapat kita simpulkan, bahwa Islam bukan hanya ibadah kepada sang pencipta. Tetapi juga kita harus bisa menjalin hubungan yang baik dalam kehidupan sosial. Islam sering sekali mengaitkan kehidupan sosial sering dengan keimanan. Itu artinya, keimanan tidak akan sempurna kalau kehidupan sosial kita jelek.
Dalam kehidupan bersosial kita dituntut untuk senantiasa menciptakan tradisi baik. Dalam hubungannya dengan pembudayaan tradisi baik, Islam sering sekali menjelaskan ancaman bagi orang yang enggan membudayakan tradisi baik. Tapi juga sebailknya, Islam juga banyak menjelaskan keutamaan orang yang membudayakan tradisi baik.
Seperti itulah cara Islam untuk menciptakan tradisi baik, yaitu dengan memberikan ancaman dan kenikmatan. Pembudayan tradisi baik akan nihil kalau iman seseorang rusak. Karena balasan dan azab yang dijelaskan Islam adalah pada hari akhir. Sehingga jika seseorang tidak beriman kepada yang ghaib akan berbuat sesuka hatinya di dunia ini. Intinya, keimanan inti dari segala-galanya.
Wa Allah a'lam bi al-Shawab


M.M. AZAMI, SANG PEMBELA AL-SUNNAH:
Review Atas Buku Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya
A. Pendahuluan
Azami salah satu ulama yang sangat gigih membela kemurnian al-sunnah dari serangan orientalis yang senantiasa ingin menanamkan rasa keraguan pada diri muslim. Ini terbukti dari karyanya yang berjudul "Studies in Early Hadits Literature" dalam cetakan arab "Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih". Kemudian buku ini diterjamahkan oleh ali Mustafa Yaqub dengan judul "Hadis Nabawi dan Sejarah Kodisifikasinya".
Buku ini adalah bantahan atas buku J. Schacht yang berjudul The Origin of Muhammadan Jurisprudence", di mana dalam buku ini Schacht berkesimpulan bahwa tidak ada satupun hadits yang autentik, terutama hadits hadits yang berkaitan dengan fiqih. (hlm. 3). Sebenarnya buku Schacht ini hampir sama dengan buku Goldziher yang berjudul "Muhammedanische Studien". Prof, Gibb mengatakan dalam bukunya Mohammedenisme, "secara pasti patokan-patokan hukum mengalami perubahan dari generasi kegenerasi. Secara mendasar perubahan ini terdapat dalam materi bahasan atau semangat ilmiyah, sebagai akibat dari adanya perkembangan bidang-bidang penelitian yang melahirkan penemuan-penemuan baru dan perluasan wawasan pemahaman…. (hlm. 4)
Selanjutnya, penulis, selanjutnya sebutan untuk penulis, mengatakan, "sudah dua puluh tahun pendapat Gibb di atas ditulis namun prof. Schacht tetap berpikir seperti cara berpikirnya Goldziher dan Margoliouth. Semua penulis barat juga memuji buku Schacht, bahkan memberikan perhatian yangberlebihan. Namun penelaian ini tidak berangkat dari penilaian yang jeli terhadap metode Schacht. Mereka juga tidak membandingkan antara kesimpulan-kesimpulan Schacht dengan teks-teks yang ditelitinya, sehingga dapat diketahui sejauh mana kebenaran kesimpulan-kesimpulan Schacht itu" (hlm. 5).
Kemudian, karena kesimpulan penulis sangat bertentangan dengan hasil kesimpulan-kesimpulan Schacht, untuk itu kemudian penulis merasa perlu untuk meneliti kembali rujukan-rujukan Schacht dan caranya mengambil kesimpulan. Penulis tidak bermaksud mengritik buku Schacht secara tersendiri, karena hal itu memerlukan waktu lama, namun, menurut penulis, studi Schacht sebagaimana yang terdapat dalam bukunya itu sudah menunjukkan kelemahan-kelemahan yang parah, bahkan lebih parah lagi metode penelitiannya tidak ilmiah (hlm. 5)
Karena Schacht menjadikan buku Goldziher sebagai rujukan utama, maka dalam dalam buku ini juga terdapat beberapa sanggahan terhadap pendapat Goldziher, walaupun tidak secara keseluruhan. Oleh karena itu pemakalah, selanjut disebut untuk pereview buku ini, memaparkan sedikit tentang sanggahan Azami terhadap Goldziher, kemudian pemakalah juga memberikan pemaparan tentang sanggahan-sanggahan Azami terhadap Schacht. Dalam ini mungkin hanya dua orientalis itulah yang menjadi pembahasan, mengingat kedua orientalis itu sangat berpengaruh dalam studi hadits di mata orientalis. Di samping itu juga kedua orientalis itu mampu meyakinkan dunia barat bahwa tidak satupun hadits nabawi yang otentik (shahih).
B. Sanggahan Terhadap Kesimpulan-kesimpulan Goldziher
Kesimpulan Schacht
Secara ringkas, pandangan Goldziher tentang periode umyah (pada abad pertama hijri) tercermin dalam dua point berikut:
a. Umat Islam diselimuti kebodohan yang mutlak tentang ajaran Islam, baik sebagai akidah maupun syari'ah.
b. Ketidak mampuan Islam untuk membuat aturan-atuaran dan teori-teori yang lengkap secara teratur dan rapi.
Hal tersebut dengan alasan-alasan sebagai berikut:
a. Orang Islam berperang dengan baju Islam. Mereka juga membangun mesjid-mesjid. Tetapi di Syam mereka tidak mengatahui salat lima waktu yang wajib itu.
b. Orang Islam tidak mengetahui cara-cara mengerjakan salat. Goldziher berdalih dengan hadits yang diriwayatkan imam bukhari di mana Abu Qilabah berkata, "kami didatangi Malik bin al-Huwairits di mesjid kita ini. Malik kemudian salat. Setelah selesai ia berkata, "sebenarnya saya tidak bermaksud salat. Saya hanya ingin memberitahukan bagaimana cara rasulullah SAW salat.
c. Oleh Karena itu menurut Goldziher, tidak aneh apabila di kalangan bani abd al-asyhal hanya terdapat budak yang dapat menjadi imam. Menurut Goldziher itu terdapat dalam al-tahdzib di mana Sufyan al-Asadi menjadi iman salat, padahal diantara mereka terdapat para sahabat.
d. Masyarakat Islam ternyata benar-benar bodoh sekali. Sampai ketika ibnu abbas meminta penduduk kota bashrah untuk membayar zakat fitrah, mereka tidak paham. Akhirnya salah seorang dari penduduk madinah menjelaskan hal itu kepada mereka.
e. Bangsa arab pada masa itu belum matang dalam pemikiran Islam, dalam belajar mereka ada keharusan tidak memulai dengan assalamu ala Allah.
f. Menurut Goldziher, ada seorang yang membaca sya'ir di mimbar, tetapi ia menyangka dirinya membaca al-Qur’an.
g. Menurut Goldziher ada bimbingan resmi dan kegiatan penguasa untuk memalsukan hadits sudah ada sejak masa dini dalam sejarah Islam. Dampaknya terdapat dalam pesan Mu'awiyah untuk mengucilkan Ali dan pengikutnya serta jangan mengambil hadits-hadits mereka. Di sisi lain, utsman dan para pengikutnya sanjung dan diambil haditsnya.
Sanggahan Azami
a. Orang yang mempelajari hukum Islam akan mengetahui sejauhmana perbedaan ulam tentang salat witir, apakah ia wajib atau sunnah, dikerjakan satu salam atau dua kali salam dan sebagainya. Perbedaan dari dulu sampai saat ini.
b. Di samping itu banyak orang syam yang berhaji ke makkah. Dapat dipastikan bahwa mereka melakukan salat jamaah di makkah bersama orang lain yang salat wajibnya lima bukan enam. Oleh karena itu tuduhan mereka tidak mengaetahui jumlah salat fajdhu sama sekali tidak beralasan.
c. Mengenai tata cara salat, seperti dituturkan oleh imam bukhari dan ibnu sa'ad, bahwa malik bin huwairits pernah diberi tugas untuk mengajarkan salat kepada orang lain. Sehingga wajar saja kalau ia datang ke sebuah mesjid dan mengarjakan salat. Kesimpulan Goldziher sebenarnya juga sangat aneh, sebab apabila memang ada orang lain yang mengajarkan sesuatu kepada suatu masyarakat, apakah hal itu bisa dikatakan kalau semua penduduknya bodoh. Begitu juga apabila tidak ada bukti kegiatan pendidikan, apakah berarti semua penduduk itu non muslim?
d. Mengenai budak yang menjadi imam, mereka adalah keluarga Sa'ad bin Mu'adz. Abu Rafi mengatakan bahwa mereka sering dikunjungi Nabi SAW sehabis salat asar dan berbincang-bincang. Oleh karena itu dapat dipastikan diantara mereka ada yang mengetahui cara salat dari Nabi. Disamping itu juga lokasi suku tersebut tidak jauh dari madinah, tetapi justru didalah kota madianah itu sendiri. Ini juga membuktikan kemuliaan pendidikan dalam Islam, di mana seorang budakpun boleh menjadi imam apabila ia alim walaupun makmumnya para Bangsawan.
e. Riwatnya dhaif.
f. Tuduhan Goldziher bahwa bangsa arab bodoh tidak ada artinya sama sekali, sebab Nabi justru datang di masyarakat jahiliyah yang animis, di mana tugasnya adalah mengajari mereka. Kesimpulan bahwa orang bodoh sama sekali tidak benar. Justru kejadian tersebut menunjukkan bahwa pada saat itu sangat memperhatikan pendidikan dan belajar. Dan itu juga tidak berarti bahwa dengan tersebarnya lembaga pendidikan salam suatu masyarakat, bukan berarti mereka bodoh, justru hal itu menunjukkan tersebarnya pendidikan.
g. Riwayat yang dijadikan bukti untuk menuduh bahwa orang Islam tidak bisa membedakan antara al-Qur’an dan sya'ir masih simpang siur.
h. Mengenai konflik antara Ali dan m$u'awiyah, wajar saja seorang pemimpin mengangkat pegawai yang setia kepadanya bukan yang membangkang. Di samping itu juga tidak ada tanda-tanda pemalsuan hadits, baik secara resmi ataupun tidak. Yang ada hanyalah ucapan Mu'awiyah kepada al-Mughirah, "jangan segan-segan mencaci dan mengecam Ali, …. Keaiban berada pada pengikut Ali, karenanya kucilkanlah mereka dan jangan didengar ucapannya". Tidak ada kritikan atas mu'awiya kecuali hanya karena ucapannya ini, kalau benar ia mengucapkan demikian. Dan sejauh ini tidak ada tanda-tanda pemasuan hadits.
C. Schacht dan Isnad
1. Kesimpulan Schacht
Menurut Schacht, dia telah mempelajari hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah fiqih (al-muwwatta’) serta perkembangannya. Ia berpendapat bahwa isnad adalah bagian tindakan sewenang-wenang dalam hadits nabawi. Hadits-hadits itu sendiri dikembangkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda-beda yang ingin mengaitkan teori-teorinya kepada tokoh-tokoh terdahulu (534).
Menurut Schacht bahwa pendapat yang bersumber dari seorang tabi’in Ibnu Sirin mengatakan bahwa usaha untuk mempertanyakan dan meneliti sanad sudah dimulai sejak terjadinya fitnah, dimana semua orang sudah tidak dipercayai lagi.
Meneurut Schacht fitnah yang dimaksud adalah ketika terbunuhnya al-walid bin yazid (w 126 H) menjelang surutnya daulah umayyah itu adalah waktu yang dijadikan patokan oleh sebagai akhir kejayaan Islam masa lampau(hlm.535).
2. Sanggahan Terhadap Kesimpulan Schacht
dari kesimpulan dan kajian Schacht tentang hadits dan sanad, serta pamakaiannya dalam kitab-kitab klasik dapat dibuktikan bahwa kitab-kitab fiqih dan kitab-kitab biografi tidak tepat dijadikan sebagai objek penelitian sanad hadits, baik ditinjau dari adanya sanad itu sendiri, pertumbuhannya maupun perkembangannya.
Karena hadits Nabi berdiri sendiri, bahkan ia mencakup ilmu-ilmu lain (disiplin ilmu tersendiri. Pem.). oleh karena itu, ditinjau dari segi ilmiah adalah suatu kesalahan yang mendasar apabila kita meneliti hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih. Karenanya, semua peneletian hadits yang berkaitan dengan sanad diluar sumber aslinya, hasilnya tidak tepat dan akan meleset (hlm. 547).
Adapun mengenai pendapat Schacht yang mengatakan bahwa masa fitnah yang dimaksud oleh Ibnu Sirin adalah ketika terbunuhnya al-walid bin Yazid, atau pada tahun 126 H, tidaklah tepat. Karena kalau yang dimaksud dengan masa pada awal abad kedua hijri, tidak logis, karena Ibnu Sirin sendiri wafat pada tahun 110 H, maka pandapat yang bersumber darinya tadi tidak benar dan palsu.
Dengan demikian, jelaslah bahwa semua analisa Schacht itu hanyalah berdasarkan penafsiran yang subjektif serta ceroboh tentang kata fitnah. Pada hakikatnya yang dimaksud dengan masa fitnah adalah fitnah antara mu’awiyah dan ali yang dampaknya masih terasa sampai sekarang ini (hlm. 535).
Selain itu, Schacht mengajukan sebuah teori tentang sejarah pemalsuan sanad hadits atau dengan kata lain untuk mengetahui sejarah pemalsuan sanad hadits. Untuk mempermudah teori Schacht dapat dilihat dari contoh berikut ini:







Nabi SAW


Jabir


Seorang suku dari bani Salamah







Nabi SAW


Jabir


al-Muttalib



‘Amr bin Abu ‘Amr
(sahaya yang dimerdekan oleh al-Muttalib)
Nabi SAW


Jabir


al-Muttalib
Abd al-Aziz bin Muhammad


al-Syafi’i

Ibrahim bin Muhammad



al-Syafi’i

Sulaiman bin Bilal



Seoran tak dikenal


al-Syafi’i
Menurut Schacht ‘Amr bin Abu ‘Amr orang yang paling berhak memalsukan sanad hadits ini atau hadits itu sendiri.
Seharusnya diagram di atas berbentuk sebagai berikut:
Nabi SAW


Jabir


Seorang dari suku bani Salamah




‘Abd al-Aziz




‘Amr bin Abu ‘Amr


Ibrahim

al-Muttalib





Sulaiman
Setelah diselidiki, ternyata yang dimaksud dengan seorang dari suku salamah adalah guru ‘Amr bin Abu ‘Amr sebagai ganti al-Muttalib. Karena Ibrahim lebih kuat hapalannya dari al-‘Aziz, dan hal itu juga didukung oleh periwayatan Sulaiman, maka yang benar adal al-Muttalib bukan seorang dari suku bani salalamah.
Dengan demikian jelaslah, bahwa hanya ada satu sanad saja, dimana ‘Amr bin Abu ‘Amr meriyatkan hadits tersebut dari al-Muttlib, yaitu dengan diagram sebagai berikut:
Nabi SAW

Jabir

al-Muttalib

‘Amr bin Abu ‘Amr

Abd al-aziz
Ibrahim
sulaiman
Demikianlah beberapa sanggahan M.M. Azami terhadap tuduhan-tuduhan atau kesimpulan-kesimpulan orientalis yang tidak ilmiah itu. Ini hanyalah sebagaian saja dari sekian banyak argumen yang dikemukan oleh Azami untuk menyanggah pendapat para orientalis.
Wa Allah A’lam bi al-Shawab.
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS PADA ABAD KE-10 H:
(Peran India dalam Menjaga dan Melestarikan Hadits)
Oleh: Sayyidi Musthafa
Sejarah Singkat
Tidak dapat dipungkiri, bahwa negara Islam khususnya Mesir dan India mempunya andil besar dalam menjaga dan melestarikan sunnah, tepatnya setelah Baghdad ibu kota abbasiyah jatuh ketangan Tatar. Setelah itulah bemacam-macam ilmu berovolusi dari Baghdad ke negara lain, yaitu Mesir dan India.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa setelah Baghdad jatuh ke tangan Tatar, Mesir mempunyai andil besar dalam melestarikan sunnah. Raja-raja Mesir sangat antusias dan apresiasif dengan ilmu pengetahuan. Sehingga di sana banyak didirikan lembaga-lembaga (universitas) modern. Pada saat itulah orang Mesir banyak yang menjadi hafidh. Mereka fokus pada masalah sanad dan kesahihan hadits. Pada saat itu banyak muncul kitab-kitab yang berkaitan dengan hadits. Keadaan ini berlangsung mulai awal abad ketiga sampai awal abad kesepuluh Hijriyah.
Pada awal abad kesepuluh hijriyah, tepatnya setelah Mamalik al-Barjiyyah berakhir, apresiasi terhadap ilmu pengetahuan mulai menurun juga, kemudian sedikit demi sedikit ilmu pengetahuan berevolusi ke India yang sangat cinta terhadap hadits dan ulumuhu sehingga hadits dan ulumuhu bisa kita nikmati sampai sekarang ini.
Peran India dalam Melestarikan Sunnah
India mempunyai andil besar dalam melestarikan sunnah dan ulumuhu – yaitu setelah orang-orang India sebelum pengertengahan abad kesepuluh hijriyah, berpaling ke ilmu-ilmu nahdariyyah dan hukum-hukum fiqih semata – maka mulai saat itu, orang India punya komitmen tinggi untuk mempelajari hadits dan ulumuhu, terutama pada masalah periwatan dan kritik sanad.
Pada saat itu, yaitu pada pertengahan abad kesepuluh hijriyah, ulama India banyak sekali menghasilkan karya-karya yang sangat berarti. seperti syarah-syarah hadits, dan ta'liqat. Di samping itu juga, ulama India banyak sekali menghasilkan kitab tentang hadits dan ulumuhu, seperti kitab kritik sanad atau Rijal al-Hadits, bayan 'Ilal al-Hadits dan Syarh al-Atsar serta masih banyak lagi karangan mereka terutama disiplin ilmu yang berkaitan dengan hadits.
Yang paling menakjubkan adalah, bahwa mereka (ulama India), tidak terpengaruh dengan peradaban barat. Bahkan mereka bertambah konsisten dan fanatik dengan sunnah. Banyak sekali ulama India mengarang kitab yang menolak pendeta dan orientalis. Di samping itu juga, India punya tradisi ilmiah yang bagus, sehingga sering sekali mereka membuat forum-forum ilmiah untuk berdebat dengan orientalis. Karena kesungguhan dan kecerdasan mereka banyak para pendeta dan orintalis yang meninggalkan forum ilmiah tersebut sebelum acara berakhir.
Kenyataan tersebut membuktikan bahwa perhatian meraka terhadap sunnah dan penyebarannya sangat besar. Ulama India banyak juga yang diutus ke eropa kemudia di sana mereka menerbitkan kitab-kita hadits seperti yang dilakukan oleh Doktor as-Sayyid Mu'azhzham Husain, yang menimba ilmunya di Universitas Oxford kemudian menerbitkan kitab yang berjudul "Ma'rifah Ulum al-Hadits" karya Hakim Abi Abdillah al-Naisaburi. Dalam kitab tersebut dia memberikan pengantar yang sangat agung serta menyertakan biografi penulis. Dan masih banyak lagi-lagi kontribusi ulama India dalam pematangan hadits.
Komentar
tidak dapat dipungkiri, india merupukan Negara yang sangat berjasa dalam mengembangkan hadits dan ulumuhu. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya kontribusi ulama india dalam pengembangan hadits. Sebgaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa ulama india sangat gigih mempelajari hadits.
Sejarah mencatat, pada pertengahan abad kesepuluh hijrah ulama india sangat tekun mempelajari hadits, ulumul hadits, meriwayatkan hadits, membahas riwayat tersebut mengkritiki sanad (Ash Shiddieqy, 1988: 126).